Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokter klinik aborsi di Raden Saleh dr. SWS (84) meninggal dunia usai mendapatkan perawatan di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (30/9/2020). Ternyata, tersangka juga terpapar Covid-19.
Kepala Bagian Humas Rumah Sakit Polri Kramat Jati Jakarta, AKBP Kristianingsih membenarkan kabar tersebut.
Hal itu diketahui usai Dr SWS dilakukan pemeriksaan Covid-19.
"Iya (meninggal karena Covid-19)," kata Kristianingsih kepada wartawan, Rabu (30/9/2020).
Lebih lanjut, ia mengatakan tersangka dokter SWS juga sempat mendapatkan perawatan intensif di ruang ICU sebelum akhirnya meninggal dunia.
"Tadi meninggal jam 09.00 pagi di ruang ICU," tukasnya.
Baca: Dokter SWS, Tersangka Klinik Aborsi Meninggal Dunia Karena Sakit
Baca: Faktanya Calo Aborsi Justru Meraup Untung 50 Persen, Kemudian Dokter dan Pemilik Klinik
Diberitakan sebelumnya, Dokter klinik aborsi di Raden Saleh dr. SWS (84) meninggal dunia di Rumah Sakit Polri, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Tersangka menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit.
Kabar itu dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus. Menurut Yusri, tersangka meninggal karena penyakit bawaan yang dideritanya.
"Iya meninggal karena sakit. Sakit bawaan," kata Kombes Yusri kepada wartawan, Rabu (30/9/2020).
Yusri mengatakan tersangka sempat mendapat perawatan selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal dunia pada 09.00 WIB di RS Polri Kramat Jati.
"Sudah dirawat selama 3 hari di RS Kramat jati jam 09.00 WIB pagi tadi (meninggal, Red)," jelasnya.
Untuk diketahui, Subdit 3 Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya mengungkap dan menangkap pihak yang terlibat praktik aborsi yang dilakukan sebuah klinik di Jakarta Pusat. Dalam kasus ini, pihak kepolisian mengamankan sebanyak 17 tersangka.
Praktik aborsi tersebut diketahui berada di klinik Dr SWS, Sp. OG, Jalan Raden Saleh I, Kenari, Senen, Jakarta Pusat. Peristiwa tersebut diusut berdasarkan LP/878/VIII/YAN.2.5/SPKT PMJ tertanggal 3 Agustus 2020 lalu.
"Awal penyelidikan salah satu dari tersangka kita kemarin itu adalah orang yang juga melakukan aborsi di tempat ini. Aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dan sudah kita amankan 17 tersangka," kata Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Tubagus mengatakan 17 tersangka itu memiliki peran masing-masing dalam kasus aborsi itu. Mereka adalah SS, SWS, TWP, EM, AK, SMK, W, J, M, S, WL, AR, MK, WS, CCS, HR, dan LH.
Rinciannya, 6 tersangka dari tenaga medis yang terdiri dari 3 orang dokter, 1 bidan dan 2 orang perawat.
Selanjutnya, 4 tersangka merupakan pengelola yang bertugas negosiasi, menerima dan juga mengurusi pembagian uang. Kemudian, 4 tersangka lainnya bertugas menjemput pasien, membersihkan janin, pembeli obat hingga menjadi calo.
Tiga tersangka lain adalah pelaku yang diketahui melakukan aborsi di tempat tersebut. Seluruhnya, menurut Tubagus, ditangkap di tempat terpisah sejak penyidik menggelar penyidikan pada 3 Agustus 2020 lalu.
"Klinik tersebut sudah beroperasi kurang lebih selama lima tahun terakhir," lanjutnya.
Mirisnya, klinik tersebut ternyata telah melayani pasien dengan angka yang cukup fantastis. Diungkapkan Tubagus, sebanyak 2.638 pasien telah gugurkan kandungan di tempat tersebut sejak setahun terakhir.
"Terhitung dari Januari 2019 sampai dengan 10 April 2020 terdatakan pasien aborsi sebanyak 2.638 pasien. Dengan asumsi perkiraan setiap hari kurang lebih 5 sampai 7 orang yang melakukan aborsi di tempat tersebut," tukasnya.
Dalam kasus ini, kepolisian juga menyita sejumlah peralatan medis yang digunakan untuk praktik aborsi pasien, obat-obatan hingga uang tunai Rp 81 juta yang merupakan uang pasien dan uang tunai Rp 49 juta uang obat.
Tersangka dikenakan pasal 299 KUHP dan atau Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 349 KUHP dan atau Pasal 194 Jo Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Selain itu, tersangka juga bisa dijerat Pasal 77A jo Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman 10 tahun.