TRIBUNNEWS.COM - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menanggapi terungkapnya motif kasus mutilasi di Bekasi, Jawa Barat.
Diketahui, pelaku berinisial AH nekat membunuh dan memutilasi DS (24) karena merasa kesal.
Pasalnya, AH yang masih berusia 17 tahun kerap dipaksa melayani nafsu birahi korban.
Reza menuturkan, terungkapnya motif ini bisa diartikan, AH juga menjadi korban kejahatan seksual.
"Pemutilasi dikabarkan berumur 17 tahun, berarti masih berusia anak-anak."
Baca juga: Tetangga Yakin Pelaku Mutilasi di Bekasi Bukan Penyuka Sesama Jenis
Baca juga: Korban Mutilasi di Bekasi Hampir Tiap Akhir Pekan Menginap di Rumah Pelaku
"Mengaku membunuh karena dipaksa melakukan kontak seks berulang kali, berarti (AH) korban kejahatan seksual," ujar Reza kepada Tribunnews, Rabu (9/12/2020).
Ia pun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa.
Untuk itu, Reza mengatakan pelaku pemutilasi ini juga sebagai korban yang harus dilindungi.
"Kata Presiden Jokowi, kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa."
"Kalau begitu, dalam kasus mutilasi Kalimalang ini, alih-alih berstatus sebagai pelaku, boleh jadi dia adalah korban," terang Reza.
Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) ini juga menyebut AH bisa berstatus ganda.
Pasalnya, selain memutilasi, ia juga termasuk ke dalam korban kejahatan luar biasa.
"(AH) korban kejahatan luar biasa! dan korban kejahatan seksual, mengacu UU Perlindungan Anak, harus mendapat perlindungan khusus."
"Anggaplah dia berstatus ganda: pelaku sekaligus korban. Lantas status manakah yang didahulukan? Pendapat saya, status korbannya didahulukan," ujar Reza.