TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP Organda mempertanyakan teknis pengecekan bagi pengguna transportasi jalur darat terkait dengan peraturan pemerintah terkait aturan wajib keluar-masuk Jakarta untuk menyertakan rapid test antigen Covid-19.
Aturan ini akan mulai berlaku pada 18 Desembe 2020 hingga 8 Januari 2021 bagi calon penumpang yang akan menaiki angkutan udara, laut, dan bus.
Sekjen DPP Organda, Ateng Aryono menyoal soal mekanisme angkutan umum darat yang notabene tidak semudah mengendalikan angkutan laut dan udara.
Baca juga: Ini Perbedaan Rapid Test Antigen dengan Rapid Antibodi dan PCR
Mengingat saat ini banyak angkutan pribadi menjalankan fungsi sebagai angkutan umum untuk mobilitas warga.
Angkutan umum berbasis plat hitam tidak berangkat dari terminal, melainkan berangkat dari rumah masing-masing.
"Lantas bagaimana pemerintah lewat kewajiban rapid test antigen dapat dijalankan?" kata Ateng Aryono dalam keterangannya, Kamis (17/12/2020).
Menurut Ateng Aryono, ketika harus diberlakukan maka pengecekannya seperti apa?
"Apakah kita punya check point di darat? Jangan sampai nanti menimbulkan efek-efek lain dalam antrian, kemacetan dan ekses lain," ujar Ateng Aryono.
Ateng Aryono menegaskan pengecekan di darat berbeda dengan pesawat, kereta api, dan kapal laut.
"Pengecekan transportasi tersebut lebih mudah karena memiliki lokasi tempat turun dan naik penumpang. Sementara angkutan darat dapat dipastikan banyak yang tidak terjaring, seperti halnya penumpang pesawat yang relative lebih mudah," katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa akses keluar masuk Jakarta melalui tol sebagai pintu masuk kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi.
"Lantas mekanisme tes Covid-19 terhadap warga yang memanfaatkan jalur darat ini seperti apa?" ujarnya.
Berangkat dari pemberlakuan PSBB sebelumnya, Ateng Aryono merasa agak sulit dalam implementasinya.
"Mungkinkah setiap mobil harus berhenti, disetop per-wilayah atau bagaimana? Belum lagi banyak angkutan umum illegal dan angkutan pribadi menggunakan jalur tikus dan masuk ke Jakarta memanfaatkan lengahnya petugas,” tandasnya.
Menurut Ateng Aryono ketika rapid test diberlakukan untuk angkutan umum secara otomatis terdapat komponen biaya tambahan oleh calon penumpang.
Sementara industri angkutan umum saat menjelang Natal dan Tahun Baru pertumbuhan maksimal hanya bergerak di kisaran 30-40 persen .
Para calon penumpang yang melakukan pergerakan dapat dipastikan orang yang benar-benar “terpakss atau butuh” melakukan perjalanan menggunakan angkutan umum.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah jangan membebani dengan biaya tambahan test rapid.
“Dalam hal ini butuh kehadiran pemerintah untuk menggratiskan rapid test warga yang akan melakukan perjalanan lewat darat," kata Ateng.
Dari hasil pantauan DPP Organda, biaya dari rumah sakit swasta Jakarta, untu rapid test antibodi sebesar Rp 150 ribu sementara untuk antigen sekitar Rp 500 ribu.
"Persoalannya saat ini di angkutan umum jalan tidak disyaratkan rapid test apapun, seperti angkutan udara dan KA (kereta api) yang dibutuhkan rapid test antibodi. Kalau hal ini diberlakukan kepada angkutan darat akan menambah komponen biaya yang sangat signifikan," ujarnya.
Selebihnya DPP Organda juga mempertanyakan sikap pemerintah yang mengatakan pihaknya akan mewajibkan rapid antigen kepada masyarakat yang mau masuk ke Jakarta.
Hal itu tercantum dalam keterangan pers Kemenkomarves usai Rapat Koordinasi Penanganan COVID-19 di DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, dan Bali secara virtual yang dipimpin oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Senin lalu