News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ujaran Kebencian

Ahli Bahasa: Pernyataan Jumhur soal Primitif Investor dan Pengusaha Rakus Bisa Timbulkan Keonaran

Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pentolan KAMI Jumhur Hidayat dengan kedua tangan terborgol, keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/4/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang penyebaran hoaks dengan terdakwa Jumhur Hidayat pada Senin (19/4/2021) siang ini.

Adapun agenda yakni mendengarkan keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ahli Linguistik Forensik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Andita Dutha Bachari dihadirkan di ruang persidangan.

Dalam keterangan di persidangan, Andita mengatakan bahwa pernyataan Jumhur tentang primitif investor dan pengusaha rakus memiliki konotasi negatif.

"Karena primitif bermakna terbelakang dan siapa pun tak mau disandingkan kata rakus karena itu bermakna tak ada kenyangnya. Lalu di situ, ada frasa dapat ya, ada potensi keonaran, karena unsur dapat itu," ujar Andita di persidangan, Senin (19/4/2021).

Ditambahkan Andita, dirinya sebagai ahli membedahnya menggunakan teori pragmatik.

"(Teori pragmatik) melihat bahasa sebagai tindak tutur, bukan sebagai struktur belaka. Dalam pramatik, harus dilihat keterkaitan antara si penutur maupun si penerima," katanya.

Dalam setiap tuturan bahasa, kata dia, haruslah diperhatikan tujuannya dan dilakukan secara kehati-hatian.

Jika dikaitkan dengan kasus Jumhur, Andita mengatakan kalau pernyataannya itu tanpa kehati-hatian dan saat dia mengutip salah satu media massa, dia membiarkan dirinya menerima kesalahan itu.

Sebabnya, media massa yang memberitakan tentang 35 investor asing telah dibantah sebagai tak benar.

"Secara harfiah media massa tersebut juga bisa disebut salah karena sudah berbohong, hanya saja dalam kontek menyiarkan dia bisa dikenakan pasal telah menyebarkan berita hoaks," kata Andita.

"Sepanjang yang saya tahu, jadi itu kalau ada yang dirugikan perlu ditandatangani dahulu oleh Dewan Pers (kalau soal media massa)," pungkas Andita.

Baca juga: Jumhur Hidayat Jalani Ramadan di Rutan: Waktu Mahasiswa Saya Juga Pernah Lebaran di Penjara

Diketahui, Jumhur Hidayat didakwa menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.

Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.

"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.

Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".

Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".

Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini