TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) menyampaikan keberatannya selaku terdakwa perkara pelanggaran protokol kesehatan yang menimbulkan kerumunan namun diperlakukan layaknya seperti tahanan tersangka teroris.
Hal tersebut disampaikan Rizieq Shihab saat dirinya membacakan pledoi atau nota pembelaan atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) kepada dirinya atas perkara tersebut.
Mulanya Rizieq Shihab menceritakan, pada Desember 2020 silam Polda Metro Jaya telah mengumumkan bahwa dirinya dinyatakan sebagai tersangka.
Adapun penetapan tersangka itu dalam kasus kerumunan saat acara Maulid Nabi dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat.
"Akhirnya pada Sabtu 12 Desember 2020 saya didampingi pengacara mendatangi Polda Metro Jaya secara sukarela untuk menjalankan pemeriksaan, tapi saya langsung ditangkap dan ditahan hingga saat ini," kata Rizieq dalam ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (20/5/2021)
Namun usai ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Mapolda Metro Jaya dia merasa diperlakukan secara berlebihan mengingat kasusnya hanya pelanggaran protokol kesehatan.
Sebab, kata Rizieq selama menjalani tahanan sementara pada satu bulan pertama, dia diisolasi total sendirian dalam sel yang tiap hari digembok selama 24 jam.
"Termasuk tidak boleh dibesuk keluarga dan tidak boleh dijenguk Tim Dokter pribadi saya dari Tim Mer-C, serta tidak boleh ditengok oleh sesama tahanan walau sel bersebelahan," tuturnya.
Bahkan, kata Rizieq, selama menjalani masa tahanan itu dirinya tidak pernah disapa oleh siapapun termasuk petugas.
"Bahkan petugas pun dilarang menyapa saya oleh atasan mereka, kecuali saat shalat Jum’at saja saya keluar dari sel dan dikawal untuk ikut shalat Jum’at bersama tahanan lain," tuturnya.
Sehingga dia merasa kalau perlakuan selama menjalani tahanan sementara sebagai pelaku pelanggar protokol kesehatan layaknya tersangka teroris.
Baca juga: Rizieq Shihab Menangis Saat Bacakan Pledoi di Ruang Sidang
"Kasus saya hanya soal Pelanggaran Prokes tapi diperlakukan seperti Tahanan Teroris," ujarnya.
Oleh karena itu, eks Imam Besar FPI tersebut menyakini kalau kasus yang menjeratnya bukan sekedar persoalan pelanggaran protokol kesehatan.
Kendati demikian, ada motif lain yakni balas dendam politik sejak digelarnya Aksi Bela Islam yang dilakukan dua gelombang pada 2016 silam.