Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Zainal Arifin mengatakan, masih perlu penelitian lebih lanjut terkait sumber paracetamol yang terdeteksi di perairan Muara Angke atau Ancol, Jakarta Utara.
Namun ia mengatakan, 60 sampai 80 persen pencemaran di pesisir datang dari daratan.
"Saya kira sumber itu lagi-lagi kita tidak melakukan riset itu dari mana sumbernya tetapi berbicara teori," ujar Zainal dalam konferensi pers virtual, Senin (4/10/2021).
"Kalau kita ingin melihat bagaimana pencemaran di pesisir Jakarta atau pulau Jawa ini akan menarik sebenarnya bagaimana daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pertanian akan beda," lanjutnya.
Dugaan pertama, adanya kebiasaan atau gaya hidup masyarakat perkotaan yang kerap menggunakan Paracetamol.
"Yang kedua, adanya instalasi pengelolaan air limbah yang belum optimal dan ini di level global isu tentang pengelolaan air limbah ini paracetamol tidak terjarin. Artinya ini teknologi yang perlu dikembangkan jadi banyak aspek sebenarnya," jelasnya.
Dr. Wulan Koaguow yang juga Peneliti Oseanografi BRIN menambahkan, tidak hanya Paracetamol, obat yang dapat tedeteksi di lingkungan sekitar namun obat-obat jenis lain juga dapat dideteksi Paracetamol termasuk dalam Contaminant of Emerging Concent atau kontaminasi yang menjadi perhatian.
Baca juga: Kadar Paracetamol Teluk Jakarta Tinggi, Bukti Buruknya Pengelolaan Limbah Farmasi
"Bahwa Paracetamol itu adalah salah satu yang paling banyak kita gunakan pusing paracetamol, apa-apa Paracetamol dan juga banyak terkandung dalam obat-obatan lainnya yang dijual secara bebas tanpa perlu resep dokter jadi kita bisa mengaksesnya kapan saja," tambah Wulan.
Sebuah penelitian menunjukan air laut teluk Jakarta tercemar Paracetamol.
Parasetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.
Konsentrasi Parasetamol yang cukup tinggi, meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.
DPR soroti buruknya pengelolaan limbah
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengatakan, tingginya kadar Paracetamol di Teluk Jakarta menunjukkan buruknya pengelolaan limbah farmasi.
"Tingginya kadar paracetamol tentu berbahaya bagi kehidupan biota laut dan juga manusia yang mengonsumsi makanan dari laut. Kondisi ini menunjukkan cara pengelolaan limbah farmasi yang buruk dan tidak tertata dengan baik," kata Netty dalam keterangannya, Senin (4/10/2021).
Menurut Netty, pengelolaan limbah farmasi harus menjadi perhatian pemerintah.
Apalagi pada saat pandemi, di mana konsumsi obat-obatan meningkat yang berdampak pada tingginya limbah.
Oleh sebab itu, Netty mendorong pemerintah agar mengatur tata kelola limbah farmasi dengan tegas, terutama pengelolaan limbah cair, baik yang diproduksi rumah tangga maupun pabrik.
"Sikap tegas diperlukan agar tidak berdampak buruk pada kerusakan lingkungan. Harus ada sanksi bagi rumah tangga, apartemen, industri dan lain-lain yang membuang limbah cair sembarangan," katanya.
Selain sanksi, kata Netty, pemerintah juga harus melakukan edukasi kepada publik terkait pemakaian produk farmasi yang benar.
"Edukasi dan sanksi akan membuat masyarakat lebih bertanggung jawab soal pengelolaan limbah. Sisa obat yang tidak digunakan tidak boleh dibuang sembarangan," ucap Netty.
Baca juga: Ini Dugaan Awal Sumber Paracetamol di Teluk Jakarta
Lebih lanjut, Netty meminta agar pemerintah DKI segera melakukan investigasi penyebab tingginya kadar paracetamol di perairan Teluk Jakarta.
"Apakah ini akibat konsumsi masyarakat yang tinggi atau memang berasal dari industri atau rumah sakit yang sistem pengelolaan air limbahnya sembarangan. Tindak tegas apabila terjadi kelalaian agar menjadi pelajaran bagi yang lainnya tentang pentingnya menjaga lingkungan," pungkasnya.
Dugaan awal sumber pencemaran
Sebuah penelitian menunjukan air laut Teluk Jakarta tercemar Paracetamol.
Paracetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.
Konsentrasi Paracetamol yang cukup tinggi, meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.
Paracetamol merupakan salah satu kandungan yang berasal dari produk obat atau farmasi yang sangat banyak dikonsumi oleh masyarakat Indonesia secara bebas tanpa resep dokter.
“Hasil penelitian awal yang kami lakukan ingin mengetahui apakah ada sisa parasetamol yang terbuang ke sistem perairan laut,” papar Zainal Arifin, sebagai salah satu anggota tim peneliti dari BRIN dalam siaran persnya, Senin (4/10/2021).
“Kami melakukan dua lokasi utama, yaitu di Teluk Jakarta dan Teluk Eretan. Kosentrasi paracetamol tertinggi ditemukan dipesisir Teluk Jakarta, sedangkan di Teluk Eretan tidak terdeteksi alat,” lanjut Zainal.
Baca juga: Dinas LH DKI Ambil Sampel Air Laut di 4 Titik Guna Teliti Kabar Teluk Jakarta Tercemar Paracetamol
Zainal menjelaskan, bahwa secara teori sumber sisa paracetamol yang ada di perairan teluk Jakarta dapat berasal dari tiga sumber, yaitu: ekresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan; rumah sakit, dan industri farmasi.
Baca juga: Dinas LH DKI Ambil Sampel Air Laut di 4 Titik Guna Teliti Kabar Teluk Jakarta Tercemar Paracetamol
Dengan jumlah penduduk yang tinggi dikawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter, memiliki potensi sebagai sumber kontaminan diperairan.
"Sedangkan sumber potensi dari rumah sakit dan industri farmasi dapat diakibatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak berfungsi optimal, sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai," ungkapnya.
Adapun mengenai bahaya Paracetamol tersebut terhadap lingkungan, peneliti BRIN lainnya, Wulan Koaguow mengaku belum mengetahui, dan perlu riset lebih lanjut.
"Kami belum tahu, karena memang riset kami baru pada tahap awal. Namun jika konsentrasinya selalu tinggi dalam jangka panjang, hal ini menjadi kekhawatiran kita karena memiliki potensi yang buruk bagi hewan-hewan laut. Hasil penelitian di laboratorium yang kami lakukan, menemukan bahwa pemaparan parasetamol pada konsentrasi 40 ng/L telah menyebabkan atresia pada kerang betina, dan reaksi pembengkakan. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan terkait potensi bahaya paracetamol atau produk farmasi lainnya pada biota-biota laut,” kata Wulan.
Hasil penelitian menunjukkan, jika dibandingkan dengan pantai-pantai lain di belahan dunia, konsentrasi Paracetamol di Teluk Jakarta adalah relatif tinggi (420-610 ng/L) dibanding di pantai Brazil (34. 6 ng/L), pantai utara Portugis (51.2 – 584 ng/L).
Meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut, namun beberapa hasil penelitian di Asian Timur, seperti Korea Selatan menyebutkan bahwa zooplankton yang terpapar paracetamol menyebakan peningkatan stress hewan, dan oxydative stress, yakni ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antiosidan, yang berperan dalam mempertahankan homeostasis.
Sisa atau limbah obat-obatan atau farmasi memang seharusnya tidak ada di dalam air sungai dan air laut.
Pemerintah perlu melakukan penguatan regulasi tatakelola pengelolaan air limbah baik untuk rumah tangga, komplek apartemen, dan industri.
Sedangkan dalam pemakaian produk farmasi (obat, stimulan), publik perlu lebih bertanggung jawab, misalnya tidak membuang sisa obat sembarangan.
"Ini yang nampaknya belum ada, perlu ada petunjuk pembuangan sisa-sisa obat,” imbuhnya.
Diketahui, Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasiona (BRIN) dan University of Brighton UK merilis hasil dari studi pendahuluan (preliminary study) mengenai kualitas air laut di beberapa situs terdominasi limbah buangan.
Hasil studi tersebut dimuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia”.