TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perayaan hari Natal dan Tahun Baru adalah ajang sukacita bagi masyarakat Indonesia. Dari tahun ke tahun, selalu saja ada yang mewarnai momentum pergantian tahun dengan propaganda negatif.
Untuk itu, masyarakat perlu memiliki kewaspadaan dini supaya kebersamaan anak bangsa tidak terusik oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Prof. Dr. Irfan Idris M. Ag., menjelaskan harus ada tindakan yang ditempuh sebagai upaya preventif dan deteksi dini aksi teror yang mungkin mengganggu perayaan Natal dan Tahun Baru.
“Langkah yang harus lakukan tentu kita membangun komunikasi interaktif dan produktif, dengan seluruh stakeholder terkait. Kita juga saling menjaga serta mewaspadai adanya letupan aksi atau sel teror yang tidur dan cenderung memanfaatkan konflik yang terjadi di negara lain,” ungkap Prof. Irfan, Rabu (13/12/2023).
Menurutnya, dunia perlu belajar dari berbagai tragedi kemanusiaan di wilayah timur tengah, khususnya antara Palestina dan Israel. Juga aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok teroris. Karena itu kebersamaan yang telah terjalin di Indonesia melalui dialog antar kelompok masyarakat dan proses mitigasi lainnya perlu dipelihara dengan baik.
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas, ungkap Prof Irfan, konstruksi berpikir dan pola komunikasi pada tatanan grass root selayaknya dapat mengangkat topik bahasan yang mampu merekatkan kebersamaan satu sama lain. Juga perlu tingkatkan lagi penerapan inklusivitas, baik di sektor formal seperti kementerian dan lembaga, hingga di lingkar pergaulan anak muda yang notabene akan menjadi penentu masa depan bangsa.
Selain itu, lanjutnya, penguatan empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 menjadi hal yang vital dalam memupuk wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air anak bangsa.
“Kurangnya narasi penguatan terhadap empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara menjadi hal yang menguras perhatian masyarakat untuk kemudian mengonsumsi konten radikalisme dan terorisme. Sah-sah saja kalau mereka yang mempelajarinya memiliki standing point dan kontrol diri yang baik. Namun jika tidak, tentu akan menyimpan konsekuensi negatif dengan mudahnya mereka setiap saat berselancar di dunia maya,” urainya.
“Akhirnya dia tertarik dan bersimpati. Maka dari itu, narasi-narasi yang beredar dari kelompok intoleran dan radikal harus kita luruskan dengan berbagai model pertemuan dan diskusi, baik offline maupun online. Kesemuanya dilakukan dengan harapan akan timbul kewaspadaan di antara masyarakat untuk saling mengingatkan,” tambah Prof. Irfan.
Dirinya pun menyoroti kejahatan terorisme yang bisa menimbulkan ketidakpercayaan antar satu golongan masyarakat dengan lainnya. Terorisme adalah kejahatan lintas negara yang harus dikenali secara komprehensif karena tidak bisa melihat secara parsial pada tiap kasus yang ada.
Seperti halnya kasus bom gereja yang terjadi di Marawi, Filipina. Hal semacam ini perlu diwaspadai karena berpotensi memunculkan kejadian serupa di wilayah lain, sebab sifat jaringan terorisme yang borderless atau tak kenal batas.
“Jangan sampai ada yang memanfaatkan momentum perayaan hari besar untuk membangun semangat melakukan aksi teror, karena hal semacam ini sudah banyak terjadi. Masih hangat dalam ingatan kita, di gereja katedral Makassar pernah mengalami serangan teror ketika umat Katolik sedang beribadah. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa harus sama-sama mendampingi generasi muda agar jangan sampai terjadi aksi teror yang disebabkan self-radicalization lewat media sosial. Pelaku teror yang awalnya terpapar kemudian beraksi sendiri (lone wolf), dan memang generasi muda serta perempuan menjadi sasaran utama dari radikalisasi jaringan teror,” imbuh Prof. Irfan.
Ia melanjutkan bahwa pola kaderisasi jaringan teror biasanya memiliki racikan tersendiri yang dilakukan sangat kencang di bawah permukaan. Ada tiga hal yang umumnya mereka lakukan, yaitu pelatihan paramiliter, perekrutan anggota baru dan pendanaan aksi teror.
Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, perekrutan anggota yang dilakukan jaringan teror itu sulit terlihat, tetapi lewat media sosial mereka dengan gencar menyebarkan narasi-narasi provokatif. Ada penggunaan istilah yang menarik untuk didiskusikan dan terangkan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Masyarakat harus terus cierahkan tentang apa yang dimaksud dengan malinformasi, dan ini seringkali digunakan dalam kepentingan doktrinasi jaringan teror.
“Malinformasi itu maknanya bahwa suatu kata yang secara istilah sudah benar, tapi disalahgunakan dalam penggunaannya, seperti apa yang dilakukan kelompok radikal teroris. Umat Islam tentu mengenal istilah ‘jihad,’ yang biasa dimaknai dengan ‘berjuang.’ Sayangnya, para kelompok teror sering memelintir istilah ini sebagai doktrinasi untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Inilah yang dikatakan sebagai malinformasi,” urai Prof. Irfan.
Menghadapi fakta di lapangan akan maraknya penggunaan istilah keagamaan yang sengaja dibelokkan demi kepentingan tertentu, lanjut Prof Irfan, umat harus memahamkan diri dan orang lain agar terjaga dari virus radikalisme.
Media dan segala bentuknya juga memiliki peran krusial dalam mengisi kekosongan waktu, pikiran, dan pendampingan terhadap malinformasi.
“Harus diakui bahwa generasi muda hampir tidak mungkin untuk menghindar dari arus globalisasi yang semakin deras. Walaupun demikian, mereka harus mampu mengikuti kencangnya arus informasi, mempelajarinya dan memahaminya, namun tanpa terbawa olehnya,” jelas Prof. Irfan.