TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Etika seringkali dianggap sebagai moral compass penopang peradaban manusia, karena sangat menentukan unsur kepantasan di tiap kejadian.
Pada konteks kehidupan bernegara di Indonesia, menjadi penting rasanya untuk mengusahakan hadirnya etika dalam keseharian masing-masing individu.
Pakar Komunikasi dan Politik Universitas Indonesia, Prof. Drs. Effendi Gazali, M.Si., MPS., Ph.D., mengatakan penentuan niat dalam berkomunikasi menjadi penting agar Indonesia memiliki ketahanan lebih dari upaya segregasi dan penunggangan kepentingan tertentu, khususnya menjelang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
“Seringkali ada pihak yang memang punya niat untuk memecah-belah kelompok masyarakat agar elektabilitas dirinya, kelompoknya, partainya, atau capresnya bisa naik mengalahkan lawan-lawannya,” ujar Effendi di Jakarta, Jumat (19/1/2024).
Ia berharap agar semua pihak yang ikut andil dalam pendewasaan demokrasi di Indonesia tidak asal bicara, yang disadari atau tidak, berpotensi membuat jurang pemisah antar masyarakat.
Dibutuhkan kecerdasan berkomunikasi untuk menyadari bahwa seluruh kebebasan ada batasnya, termasuk dalam berbicara.
Batas tak terlihat ini, lanjutnya, jika dilanggar justru akan mencederai kebebasan orang lain, atau mungkin menghancurkan kesatuan dan kekompakan dari kelompok masyarakat lainnya, hanya karena pernyataan tidak beretika yang diucapkan oleh seorang komunikator.
“Maka dari itu, terutama bagi para figur atau tokoh masyarakat yang biasanya mendapatkan porsi lebih untuk tampil di khalayak ramai, sudah sepatutnya menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik,” imbaunya.
Effendi menilai adanya kebutuhan untuk saling mengingatkan pada semua tokoh yang sering dapat kesempatan berbicara di depan publik, bahwa tanpa sengaja perpecahan bisa disebabkan oleh kalimat-kalimat kecil yang semula tidak dibayangkan, ternyata bisa berakibat fatal.
“Mulai dari humor, anekdot, hingga pengandaian-pengandaian yang tidak pas disampaikan di ruang publik. Alangkah baiknya jika semua orang bisa bersatu dan punya alarm pada diri sendiri untuk memberhentikan perkataan yang berpotensi merusak kerukunan,” ungkap Effendi.
Ia menjelaskan menjelaskan bahwa etika sebenarnya adalah konsep yang berlaku secara umum dan harus terus dijunjung tinggi terlepas apapun keadaannya.
“Mereka yang dengan gampang melakukan pencemaran nama baik, menyebar fitnah atau hoax, memang harus diajak mencoba memahami bagaimana rasanya jika diri mereka, keluarganya, atau teman dekatnya menjadi korban. Dalam banyak upaya advokasi, contoh-contoh kasus dan diskusi seperti ini sangat membantu,” terang Effendi
Dirinya menambahkan, bahkan dalam beberapa materi film misalnya, biasanya ditampilkan konsekuensi yang diderita oleh korban pencemaran nama baik yang berlangsung amat panjang dan sangat sulit untuk bangkit kembali.
Sehingga harus ada kesadaran bersama tentang akibat negatif dan misery (penderitaan panjangnya) sebelum pada akhirnya dilakukan penegakan hukum yang juga harus berprinsip pada pendidikan, sesudah itu barulah semacam efek penjeraan.