“Jakarta sekarang sawah tidak ada. Dan sektor manufaktur sudah banyak pindah ke (daerah) yang UMR-nya lebih rendah karena ini terkait dengan production cost.”
“Dan yang tersisa adalah segmen-segmen untuk lowongan tenaga ahli, untuk S1 ke atas dan inipun realitanya tidak semua S1 bisa diserap di Jakarta. Kalau mau kita bicara, perusahaan-perusahaan dari kampus 10 besar atau 15 besar,” katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Pagi di YouTube Kompas TV, Rabu (2/4/2025).
Justin mengatakan lapangan pekerjaan yang tersedia juga tidak mencukupi bagi angkatan kerja yang akan datang ke Jakarta.
“Untuk sektor formal, sekitar 11 juta masyarakat Jakarta sendiri, masih banyak yang pengangguran juga. Bahkan dari 11 juta ini, 5 juta mengajukan DTKS untuk KJP maupun lansia,” tuturnya.
Sementara, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna menuturkan tren ekonomi di Jakarta telah berpindah yaitu menjadi “kota online”.
Adapun yang dimaksud “kota online” adalah ekonomi Jakarta digerakan di sektor retail dan jasa transportasi.
“Jakarta itu adalah kota tersier. Data yang menunjukkan saat ini yang dominan di Jakarta kalau mau bekerja itu dalam konteks retail kecil dan besar dan jasa pelayanan di sektor transportasi atau motornya,” katanya.
Yayat juga mencatat adanya permasalahan baru soal kebijakan Pramono yang akan mendata pendatang terkait identitasnya.
Pasalnya, Pemprov Jakarta akan mengalami kesulitan akibat tren ekonomi yang sudah berpindah di mana Yayat menilai banyak pekerja yang menganggap bahwa Jakarta hanyalah tempat untuk mencari uang alih-alih sebagai tempat tinggal.
“Catatan yang paling menarik adalah Jakarta tengah membuat rancangan peraturan daerah baru di mana dikatakan Pak Pram masuk Jakarta harus identitasnya jelas.”
“Dia posisinya mau permanen, atau menjadi penduduk yang komuter, atau penduduk yang non permanen. Karena banyak yang masuk Jakarta itu ibaratnya numpang,” kata Yayat.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)