TRIBUNNEWS.COM - Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar mengungkapkan bahwa dari hasil kajian sementara Lembaga Pengkajian MPR RI terkait daerah, ternyata peran pemerintahan daerah masih belum efektif dalam rangka memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional.
Hal tersebut dikatakannya, saat memberikan sambutan dalam acara Simposium Nasional MPR RI, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10).
Lebih jauh, Rully memaparkan, peran memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional semestinya diemban oleh DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah di tingkat nasional, sesuai kewajiban konstitusionalnya sebagaimana tertuang dalam pasal 22D ayat 1, 2,3 UUD NRI Tahun 1945.
“Dapat dikatakan, dengan terjadinya kekosongan peran tersebut menimbulkan melemahnya posiso tawar daerah di tingkat nasional. Ini bisa dimaklumi akibat terbatasnya kewenangan DPD akibat aturan pelaksanaan atas kewajiban konstitusional tersebut belum jelas dan tegas diatur,” ujarnya.
Diutarakan Rully, kajian tersebut sangat sejalan dengan keinginan DPD RI untuk merefleksi diri sehubungan denga hari jadinya yang ke-13 pada 1 Oktober 2017 yang lalu.
“Memang pada awal September 2017, DPD RI telah mengirimkan surat kepada Lembaga Pengkajian MPR untuk melakukan pengkajian tentang bagaimana sebaiknya DPD bisa berperan lebih nyata untuk mendorong kemajuan daerah di seluruh tanah air,” katanya.
Rully menambahkan bahwa diperlukan kesadaran seluruh rakyat bahwa saat ini masih banyak terjadi kesenjangan pembangunan antar daerah, walaupun negara telah memberikan otonomi daerah seluas luasnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti yang tercantum dalam UUD NRI tahun 1945 Pasal 18.
“Kesenjangan pembangunan berakibat kepada tingginya kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi antar daerah ini sangat mudah terjadinya separatisme, itu yang perlu diwaspadai salah satunya melalui Gerakan Pembebasan Papua Barat yang pada akhir September 2017 lalu telah membuat petisi referendum kemerdekaan Papua Barat yang konon ditandatangani oleh sekitar 1,8 juta warga Papua Barat. Jadi simposium nasional tersebut digelar intinya untuk membicarakan hal-hal tersebut,” tandasnya.