Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) kembali menggelar Simposium Nasional MPR 2017 kali ini bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Simposium yang digelar di Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2017) ini mengambil tema sentral ‘Menghormati Keberagaman, Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.
Hadir dalam Simposium Nasional MPR 2017 tersebut, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Ketua Umum APHTN-HAN Prof Mahfud MD, Pimpinan Fraksi/Kelompok DPD di MPR, Pimpinan dan anggota Badan Pengkajian MPR, Pimpinan dan anggota Lembaga Pengkajian MPR, Sekretaris Jenderal MPR RI Ma’ruf Cahyono, para akademisi, tokoh agama, tokoh budaya, tokoh adat, tokoh pemerintahan pusat dan daerah serta para dosen pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara perwakilan berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Ketua Umum APHTN-HAN Prof Mahfud MD dalam kesempatan tersebut menyatakan apresiasinya kepada MPR RI dalam menyelenggarakan simposium, yang tujuannya sangat baik yakni membicarakan seputar permasalahan bangsa dan solusinya.
“Tujuan dari digelarnya simposium ini adalah dilatarbelakangi dengan ada keresahan dan kekhawatiran yang meluas di tengah-tengah masyarakat soal kebhinnekaan bangsa yang dirasakan terancam, terutama sejak Pilgub DKI seakan-akan benih-benih permusuhan antar ikatan primordial di negeri ini memanas, elemen satu dianggap ingin mendominasi dan yang satu dianggap mendominasi. Yang satu merasa disalahkan yang lain dirasa sangat menyalahkan pihak lain,” katanya.
Mahfud MD juga menyimak dari Ketua MPR RI yang dalam kunjungan ke daerah-daerah menangkap bahwa keresahan tersebut adalah nyata.
“Saya mendengar dari Ketua MPR RI hal tersebut sangat terasa saat beliau berkunjung ke berbagai daerah. Ada satu keresahan dari masyarakat bahwa tokoh agama ini mengatakan begitu, tokoh agama ini mengatakan begitu, tokoh adat daerah ini mengatakan begitu, semua intinya mengeluh, merasa resah, merasa khawatir akan kebersamaan kita sebagai satu bangsa rasanya kok terancam. Padahal kita semua sudah bersepakat membangun negara ini untuk bersatu maju sesuai amanah konstitusi,” imbuhnya.
Simposium ini, lanjut Mahfud MD, adalah upaya membicarakan hal tersebut. Para tokoh-tokoh lintas agama, budaya, adat, dan tokoh nasional lainnya berkumpul membicarakannya serta mencari solusinya.
“Di sini adalah ajang mengeluh. Mengeluhlah disini nanti akan ada yang mendengarkan dan dijawab benar atau tidaknya keluhan itu. Kalau benar lalu mau bagaimana ke depannya. Nah, MPR ini adalah tempatnya. Sebab MPR rumah rakyat. Kewenangannya besar yang bisa menetapkan dan merubah konstitusi. MPR sendiri memiliki instrumen yang mendukung, ada Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian yang nanti akan mengolah secara sistematis. Di Badan Pengkajian ini ada politisi-politisinya yang nanti akan membawanya ke ranah politik, bagaimana secara politik mengolah keluhan-keluhan masyarakat ini menjadi satu solusi yang baik dan diharmonisasikan di dalam proses kebijakan politik,” tandasnya.
Simposium sendiri berlangsung selama satu hari penuh dengan agenda pemaparan materi oleh para narasumber dari beberapa tokoh antara lain, peneliti LIPI Prof Siti Zuhro, Bupati Jember Faida, perwakilan agama Islam, perwakilan agama Kristen, perwakilan Budha, perwakilan etnis Jawa/Madura diwakili budayawan Sudjiwo Tedjo, perwakilan etnis Arab, perwakilan etnis Tionghoa diwakili Ulung Rusman dan lainnya, lalu ditutup dengan agenda curah pendapat dari perwakilan peserta.