Lapangan Pasopati, Kelurahan Putera Buyut, Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, Rabu malam, 19 Desember 2018, tak seperti biasanya.
Bila dalam keseharian, lapangan itu sepi dan gelap namun malam itu terlihat keramaian. Di tepi lapangan berbagai tenda pedagang makanan, minuman, dan mainan anak-anak berjajar. Sedang di tengah lapangan berdiri panggung dan tenda besar dengan ratusan kursi yang tersedia.
Keramaian di lapangan yang tumbuh subur rumput itu karena ada acara Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika atau Empat Pilar MPR.
Sebagai acara yang digelar oleh MPR, maka hadir dalam acara itu anggota dari Fraksi PAN Alimin Abdullah, Kepala Bagian Pemberitaan, Hubungan Antar Lembaga, dan Layanan Informasi Setjen MPR Muhamad Jaya, Kasubag Hubungan Antar Lembaga Euis Karmila, serta anggota DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi PAN Abdullah Surajaya, Kepala Kampung Putera Buyut Mariadi, tokoh masyarakat serta masyarakat yang datang dari berbagai desa di Gunung Sugih.
Alimin dalam sambutan mengatakan, dirinya hadir pada malam yang cerah itu untuk mensosialisasikan Empat Pilar, "lewat pagelaran wayang kulit," ujarnya.
Sosialisasi lewat pagelaran budaya asal Jawa karena seni ini dianggap yang paling tokcer alias mantap. Disebut keistimewaan sosialisasi lewat wayang kulit karena pertunjukannya aman, tenang, bisa ditonton mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, serta mampu mendatangkan berbagai pedagang ke tempat acara.
"Serta dilakukan di lapangan terbuka," tuturnya.
Kepada penonton yang malam itu memenuhi lapangan yang biasa digunakan untuk sepakbola bagi pemuda setempat, putra asli Lampung itu mengungkapkan bangsa Indonesia bisa tegak berdiri karena memiliki Empat Pilar.
Keempat pilar inilah yang menjadi landasan, pilar, dan pegangan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, dan keragaman lainnya. "Meski beragam namun kita bersatu," tuturnya.
Keragaman yang ada, menurut Alimin disaksikan sendiri saat dirinya berkeliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Persatuan yang ada dikatakan salah satunya karena ada bahasa Indonesia.
Di Kecamatan Gunung Sugih khususnya Kampung Putera Buyut, selain suku Jawa, juga ada Sunda serta suku lainnya. "Beragam suku ada di sini namun saya bisa nyambung karena menggunakan bahasa Indonesia," ucapnya.
Dirinya berpesan kepada dalang, Ki Haryo Purbo Kusumo, agar menyelipkan pesan-pesan Empat Pilar dalam lakon yang digelar. "Selain sosialisasinya tercapai, masyarakat juga terhibur," paparnya.
Sosialisasi menurutnya penting dilakukan sebab selepas reformasi pendidikan Pancasila tidak lagi diberikan di sekolah-sekolah serta lembaga BP7 dibubarkan. "Akibat yang demikian ada yang tidak tahu tujuan Indonesia merdeka," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu dirinya juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa pada 17 April 2019, bangsa Indonesia melaksanakan Pemilu Legislatif, Pemilu memilih anggota DPD, dan Pemilu Presiden.
Diharapkan masyarakat menggunakan hak pilihnya secara benar. "Jangan sampai tidak menggunakan hak pilih," tegasnya.
Muhamad Jaya dalam kesempatan yang sama menuturkan dirinya gembira sebab masyarakat antusias mengikuti acara itu.
Dikatakan, pagelaran wayang kulit malam itu merupakan salah satu metode memasyarakatkan Empat Pilar di samping metode lain seperti TOT, outbond, seminar, FGD, lomba cerdas cermat.
Sosialisasi yang digelar diharap membuat masyarakat menjadi paham dan selanjutnya mengaktualisasikan dalam keseharian.
Bagi Muhamad Jaya, pertunjukan seni budaya tak sekadar mensosialisasikan Empat Pilar namun juga sebagai upaya menjaga dan melestarikan budaya bangsa. "Lewat pentas seni, Empat Pilar bisa teraktualisasikan," paparnya. "Mari kita nikmati pertunjukan ini," tambahnya.
Mariadi merasa senang malam itu masyarakat dihibur oleh pagelaran wayang. "Apalagi gratis," ucapnya. Diakui tak mudah menggelar pertunjukan semacam itu di kampungnya.
Dikatakan kepada masyarakat bahwa acara itu merupakan kerja sama antara Putera Buyut dengan MPR. "Pertunjukan ini tak terduga. Untuk itu kami ucapkan terima kasih pada MPR," ungkapnya.
Sebelum pertunjukan, Alimin didampingi Muhamad Jaya, Abdullah Surajaya, dan Mariadi menyerahkan sosok wayang Puntadewa kepada Ki Haryo Purbo Kusumo. Lakon yang diunggah oleh Ki Haryo Purbo Kusumo adalah Pandawa Prawirayudha.
Kisah klasik Mahabarata ini menceritakan dinamika di Kerajaan Astina antara Pandawa sebagai simbol kebaikan bertarung dengan Kurawa sebagai simbol keburukan.
Peran yang dimainkan Puntadewa itulah yang membuat kebaikan selalu menang atas kejahatan. Puntadewa sebagai sosok wayang yang diserahkan Alimin ke dalang merupakan raja yang memerintah kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Astina. Yudhistira nama lain dari Puntadewa merupakan anak tertua dari Pandawa. (*)