TRIBUNNEWS.COM - Pengakuan batik sebagai warisan budaya nonbendawi oleh UNESCO harus dilihat sebagai bentuk pengakuan dunia terhadap ciri khas sekaligus kedaulatan bangsa dan budaya Indonesia.
"Eksistensi batik di kancah dunia saat ini tidak terlepas dari proses diplomasi panjang yang dilakukan para diplomat kita," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat berbicara secara daring kepada peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri, Kamis (5/11).
Sebelas tahun yang lalu, ujar Lestari, pada 2 Oktober 2009, UNESCO sebagai organisasi kebudayaan dunia telah menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, pengakuan dunia terhadap batik itu harus bisa dimanfaatkan secara maksimal bagi kepentingan bangsa.
Apalagi, tegasnya, batik sebagai karya budaya anak bangsa juga berperan dalam proses menuju dan mengisi kemerdekaan.
Sejumlah motif, ungkap Rerie, seperti Batik Jawa Hokokai mengadopsi motif-motif khas bernuansa Jepang berbentuk bunga-bunga, dengan tujuan diplomasi.
Produksi batik dengan motif Jawa Hokokai itu, jelasnya, di masa lalu diproduksi sebagai salah satu cara agar memperlancar komunikasi dengan pihak Jepang.
Upaya diplomasi dengan memanfaatkan batik pun, ujar Legislator Partai NasDem itu, dilanjutkan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT APEC pada 1994 dengan menjadikan batik sebagai pengganti pakaian resmi di acara tersebut. Pola diplomasi serupa pun dilanjutkan hingga saat ini.
Menurut Rerie, selain bisa digunakan untuk kepentingan diplomasi, batik juga bisa menjadi penguat sektor ekonomi. Karena, jelasnya, industri batik melibatkan ribuan tenaga kerja pada industri terkait, dari hulu ke hilir. Antara lain, produsen malam, canting, kain, pengrajin hingga distribusi dan pemasaran.
Penguatan sektor ekonomi, jelas Rerie, berperan penting bagi eksistensi sebuah negara. Bahkan, ujarnya, saat ini ada kecenderungan perang bukan semata memperebutkan teritori atau wilayah. Namun dalam bentuk perang dengan tujuan penguasaan ekonomi.
"Salah satu yang harus diupayakan adalah bagaimana batik menarik bagi investor, tanpa menghilangkan jati diri batik secara budaya. Sehingga investor tidak melulu mengikuti selera pasar," ujarnya.
Keterlibatan investor dalam pengembangan batik, jelas Rerie, diharapkan mampu meningkatkan eksistensi batik lebih luas lagi.