TRIBUNNEWS.COM - Menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), istilah yang benar adalah Sosialisasi Empat Pilar MPR RI.
Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR. NKRI Sebagai Bentuk Negara. Dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara. Bukan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan. Dan, bukan pula Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara.
MPR tidak pernah menggunakan istilah Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan. Sementara frasa Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara sudah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi. Dan tidak boleh dipakai lagi.
"Pada era Ketua MPR (alm) Pak Taufiq Kiemas istilah yang digunakan adalah Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Namun, istilah tersebut diyudicial review, dianggap mensejajarkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan tiga pilar lainnya. Akibatnya, MK melarang penggunaan istilah Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara" kata Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA.
Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid mengoreksi pengucapan yang salah dari istilah Sosialisasi Empat Pilar, oleh beberapa anggota masyarakat di Indragiri Hulu. Koreksi itu disampaikan Hidayat secara daring, saat menjadi pembicara pada acara Temu Tokoh Nasional/Kebangsaan, kerjasama MPR dengan Yayasan Madani Cinta Indragiri, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau, Rabu (25/11/2020).
Untuk mengganti istilah Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara yang dilarang MK, kata Hidayat MPR melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi. MPR juga mengajukan usulan nama pengganti, yaitu Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, beserta penjelasannya yang utuh.
"Usulan tersebut disetujui MK. Sejak itu dipakailah istilah Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR. NKRI Sebagai Bentuk Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara. Semoga, setelah ini tidak ada lagi yang salah dalam mengucapkan sosialisasi," kata Hidayat berharap.
Pada kesempatan itu, HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, menyampaikan kebanggaannya terhadap provinsi Riau. Karena Riau pernah memiliki raja dan kerajaan yang berani mengorbankan harta dan kehormatannya untuk mendukung NKRI. Dia adalah Sultan Syarif Kasim II, Raja dari kerajaan Siak Sri Indrapura Riau. Beberapa waktu setelah proklamasi 17 Agustus Sultan Syarif Kasim II menyerahkan kedaulatan kerajaan yang dipimpinnya kepada pemerintah NKRI DI Jakarta. Sultan Syarif Kasim II memilih bergabung dengan NKRI. Ia juga menyerahkan tanah, mahkota kerajaan berbahan emas serta uang sebesar 13 juta Golden, setara dengan Rp. 1,3 triliun.
"Riau juga menjadi alasan bagi para pemuda-pemudi Indonesia menghadirkan khikmah kebijaksanaan yang luar biasa pada 1928. Yaitu, menjadikan Bahasa melayu menjadi bahasa persatuan. Padahal Bahasa Melayu tidak dipakai sebanyak Bahasa Jawa. Tapi Orang Jawa rela demi persatun dan kesatuan, menjadikan bahasa Indoneaia yang bersumber dari bahasa melayu menjadi bahasa nasional," kata Hidayat menambahkan.
Sejak peristiwa Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia memiliki bahasa nasional yang berlaku hingga kini. Bandingkan dengan Filipina yang sampai hari ini, tidak memiliki bahasa nasional. Mereka memakai bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Padahal, Inggris merupakan penjajah Filipina.
Sejarah seperti, itu menurut Hidayat patut dikabarkan kepada semua generasi muda. Agar kecintaan generasi Millenial kepada NKRI dan provinsi Riau khususnya semakin besar. Dengan demikian persatuan dan kesatuan Indonesia pun akan bertambah besar. (*)