TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyayangkan pernyataan Menteri Sosial RI Tri Rismaharini yang menghentikan pemberian bantuan sosial kepada ahli waris korban meninggal dunia akibat Covid-19, dengan alasan ketidaktersediaan anggaran untuk program santunan korban Covid-19 di Kementerian Sosial.
Pernyataan itu dinilai Hidayat sangat aneh sekaligus menunjukkan ketidakseriusan Kemensos dalam melaksanakan ketentuan perundangan soal pemberian bantuan bagi keluarga korban yang wafat akibat bencana. Hidayat juga mengkritisi Risma untuk tidak menjadikan Surat Edaran Dirjen PSKBS No. 427/3.2/BS.01.02/06/2020 yang dikatakan Risma maladiminstrasi sebagai alasan kuat keluarnya keputusannya tersebut.
Dikatakan Hidayat, jika permasalahannya hanya ketersediaan anggaran, UU No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara melalui Kementerian Keuangan memungkinkan pemerintah dalam hal ini Kemensos untuk mengubah alokasi anggaran baru.
Karenanya, Hidayat mendesak Menteri Risma untuk benar-benar serius memperjuangkannya kepada Menteri Keuangan alokasi penambahan anggaran itu, agar memungkinkan realisasi ketentuan perundangan pemenuhan hak rakyat mendapatkan santunan untuk korban yang wafat akibat Covid-19.
“Pada tahun 2020 sebelum adanya pembatalan bantuan, memang banyak yang sudah mengajukan klaim, termasuk yang disampaikan langsung kepada saya saat reses. Dan saat keluarnya pembatalan oleh Mensos, mereka langsung menyampaikan aspirasi menolak. Bu Risma jangan berkilah dengan argumen maladministrasi, karena Surat Edaran yang dikeluarkan pada bulan Juni 2020 saat Mensosnya masih Juliari Batubara itu surat edaran yang sah, dan telah secara benar menjalankan perintah UU 24/2007 dan dalam Permensos 04/2015 tertulis jelas bahwa keluarga korban meninggal akibat bencana menerima santunan sebesar Rp.15 juta. Saya rasa tentu sudah dipersiapkan besaran anggaran untuk merealisasikannya,” kata Hidayat Nur Wahid dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (01/03/2021).
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang biasa disapa HNW ini menegaskan, soal perubahan dan penambahan anggaran di Kementerian, ada beberapa contoh yang patut dicermati antara lain, sepanjang tahun 2021 saja Kementerian Keuangan telah meningkatkan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga lima kali. Kenaikannya pun cukup tinggi dari awalnya diumumkan sebesar Rp.372 Triliun kini telah mencapai Rp.699 Triliun atau naik Rp.327 Triliun.
Menurutnya, jika Menteri Sosial benar-benar punya empati kepada rakyat, dan serius melaksanakan peraturan perundangan, maka Mensos seharusnya memperjuangkan anggaran tambahan atau realokasi untuk membiayai santunan korban Covid-19. Perlu diketahui, untuk melaksanakan program santunan, Menteri Sosial sebelum Risma sudah menyampaikan secara langsung dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR-RI pada tanggal 7 April tahun 2020 dan semua sepakat diterima oleh semua pihak.
Sebagai tindak lanjutnya, pada bulan Juni tahun 2020 dikeluarkan SE PSKBS No. 427/3.2/BS.01.02/06/2020 yang meminta Dinas Sosial di daerah, untuk merekomendasikan nama-nama keluarga korban wafat akibat Covid-19 agar segera menerima hak santunan.
"Menurut saya, penerbitan Surat Edaran di tingkat Dirjen adalah hal lumrah di Kemensos dalam rangka mengumpulkan rekomendasi penerima bantuan dari dinas sosial di tingkat daerah. Sebagai Menteri, bu Risma seharusnya sudah memahaminya," tambahnya.
Hidayat yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII ini mengungkapkan, praktik permintaan anggaran tambahan untuk membiayai program bagi rakyat terdampak covid-19 juga sudah banyak dilakukan oleh Kemensos sendiri. Misalnya saja, anggaran Kementerian Sosial tahun 2020 dinaikkan dari Rp.62,8 Triliun hingga Rp.124,8 Triliun, lalu di tahun 2021 dari pagu indikatif Rp.62 Triliun menjadi Rp.92,8 Triliun, di mana kenaikan anggaran tersebut diperuntukkan untuk program perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak Covid-19.
Bila demikian, maka penambahan anggaran untuk realisasikan bantuan bagi keluarga korban, sesuai dengan peraturan perundangan mestinya lebih mudah diadakan, karena yang dibutuhkan untuk bantuan hanya sebesar Rp.15 juta kepada setiap keluarga korban meninggal. Selama setahun hanya sekitar Rp.518 Miliar, itu jumlah yang sangat sedikit dibanding dengan kenaikan anggaran untuk kementerian sosial maupun buat kenaikan anggaran program PEN.
Sekali lagi, lanjut HNW, semua permasalahannya terletak pada keseriusan Mensos dalam melaksanakan program sesuai dengan ketentuan perundangan, serta keberpihakan beliau terhadap pemenuhan hak keluarga korban untuk menerima santunan yang sudah dijamin oleh UU 24/2007. Itu mestinya yang diutamakan sesuai sumpah jabatan beliau sebagai Mensos.
Kalau serius dan sungguh-sungguh, insya Allah tidak sulit mendapatkan realokasi untuk pemenuhan anggaran santunan yang hanya Rp.518 Miliar. Sebab, keuangan negara saja bisa memberikan suntikan bantuan kepada asuransi Jiwasraya yang bermasalah karena korupsi, dengan anggaran yang sangat besar yaitu Rp.20 Triliun.
"Bu Mensos saat ini mestinya maksimalkan usaha agar dapat melaksanakan ketentuan perundangan serta memenuhi kewajiban kepada Rakyat. Jangan malah mudah berkilah dan kemudian menerbitkan surat edaran yang menganulir Surat Edaran sebelumnya, padahal surat yang dianulir itu justru melaksanakan Peraturan Menteri Sosial dan UU. Tentu sikap lepas tangan seperti itu tidak diharapkan Rakyat, dan tidak sesuai dengan sumpah jabatan,” tandas HNW.