TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengapresiasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang segera merevisi Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 dengan memasukkan frasa agama pasca mendengarkan kritik dan saran publik.
“Sikap Mendikbud untuk merevisi draft itu merupakan langkah benar dan sudah seharusnya dilakukan, mengingat banyaknya masukan yang disampaikan oleh sejumlah elemen bangsa peduli pendidikan nasional seperti Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Nahdlatul Ulama (NU), juga oleh partai politik seperti PKS dan PPP. Sebelum publik bereaksi, kritik sebenarnya sudah disampaikan oleh Komisi X DPR, mitra kerja Kemendikbud, sejak Januari 2021. Sayangnya tidak mendapatkan respons positif yang cepat dari Kemendikbud,” ujarnya di Jakarta, Kamis (11/3/2021).
HNW sapaan akrab politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini sempat mengingatkan Mendikbud Nadiem yang sebelumnya berkilah bahwa kata ‘agama’ tidak eksplisit dimasukkan, karena sudah diakomodir dengan ketentuan tentang pelajar Pancasila yaitu pelajar yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
Menurut HNW, itu tidak cukup untuk menggantikan konstitusionalisasi penyebutan frasa agama dalam draft. Bila merujuk pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memang hanya disebutkan iman, takwa dan akhlak mulia. Tapi, jangan lupa, Pasal 31 ayat (5) secara eksplisit menyebutkan ‘agama’, dikaitkan dengan Pendidikan Nasional, selain penyebutan frasa ‘budaya’.
Demikian juga UU No. 20/2003 Pasal 1 angka 2 malah secara eksplisit lebih dahulu menyebut agama sebelum menyebut budaya dikaitkan dengan pendidikan nasional. Karena itulah kalau rujukan konstitusionalnya (UUD dan UU) tidak hanya menyebutkan frasa budaya secara eksplisit dikaitkan dengan pendidikan, tetapi juga menyebutkan frasa agama, maka sudah seharusnya aturan peraturan perundangan dibawahnya wajib mengikuti dan tidak malah membuat ketentuan yang tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tersebut. Kesalahpahaman berpikir ini dirasakan HNW, menjadi pangkal dari berbagai kebijakannya yang seakan alergi dengan penyebutan agama.
Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengingatkan bila kesalahan berpikir seperti itu, (tidak sepenuhnya mengikuti konstitusi) digunakan dalam mengambil kebijakan, maka akan bisa menghadirkan ketidakbijakan yang lain, seperti hadirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mendikbud, Menag dan Mendagri tentang seragam sekolah berbasis keagamaan yang menimbulkan kontroversi dan penolakan dari banyak pihak seperti MUI, Muhammadiyah, PKS dan lain-lain serta masyarakat yang sekarang juga mengkritisi Peta Jalan Pendidikan Nasional itu.
HNW berharap, sikap akomodatif Menteri terhadap draft Peta Jalan Pendidikan juga diterapkan pada SKB tentang Seragam Sekolah berbasis keagamaan karena tidak sejalan dengan konstitusi.
“Jadi, sudah sepatutnya jika SKB yang tidak sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 soal pendidikan yang meningkatkan keimanan ketakwaan dan akhlak mulia, serta tidak sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) soal negara yang menjamin masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, termasuk dalam hal berpakaian, segera direvisi agar sesuai dengan konstitusi dan untuk mengakomodasi masukan banyak pihak yang sangat peduli dengan pendidikan, moderasi dan toleransi,” tegasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menyepakati pemahaman bahwa sikap intoleran di dunia pendidikan tidak diperbolehkan, karenanya melarang siswi untuk memakai pakaian sesuai dengan ajaran agamanya memang tidak dibenarkan sebagaimana dicantumkan dalam SKB, dan sebaliknya mewajibkan berpakaian yang tidak sesuai ajaran agama yang dianut siswi juga tidak boleh.
“Revisi dua kebijakan ini sangat diperlukan, tujuannya adalah agar pendidikan, betul-betul mencerminkan pemahaman yang baik dan benar terhadap konstitusi dan peraturan perundangan. Dengan begitu, kita semua bisa berharap, melalui Kemendibud bisa tercapai arah dan tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana yang diamanahkan UUD NRI Tahun 1945 maupun UU Sisdiknas,” pungkas HNW.