TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengajak masyarakat, terutama generasi muda untuk melestarikan budaya pewayangan yang mulai kurang dikenal oleh kalangan muda.
Gus Jazil- sapaan akrab Jazilul Fawaid- menyebutkan bahwa anak muda zaman sekarang lebih mengenal dan menggemari tontonan seperti sinetron atau drama Korea (drakor) dibandingkan budaya seperti wayang. Padahal, pewayangan sarat dengan tuntunan kebaikan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh para tokoh pewayangan.
”Generasi muda harus paham, harus sadar dan mengerti tentang sejarahnya, termasuk wayang. Wayang menurut saya adalah budaya tinggi dari para leluhur, termasuk para wali, dan ini dijadikan sebagai sarana untuk berdakwah, sarana menuju kebaikan. Dakwah itu membina, bukan menghina. Nah wayang ini cara orang merasa terhibur, tapi dikasih pelajaran meski kadang nggak terasa. Orang merasa senang tapi tidak terasa kalau sebenarnya dia diberikan nasihat-nasihat melalui wayang,” ujar Gus Jazil saat pengambilan video Program Seni Budaya bertajuk ”Wayang dan Dakwah” dengan lakon Semar Catur Bersama dalamng kondang Ki Mantep Soedharsono di Studio TVRI, Jakarta, Sabtu (24/4/2021).
Dikatakan Gus Jazil, generasi muda harus diberikan pemahaman mengenai pewayangan sebagai sebuah budaya warisan leluhur yang harus dilestarikan.
”Ini adalah tontonan yang menghibur dan menyehatkan. Goro-goro atau prahara yang ada di wayang itu artinya bahwa dalam hidup ini banyak variasinya. Anak-anak sekarang yang ditonton sinetron, drakor daripada wayang. Drakor itu tak ada isinya dibanding wayang yang sarat nilai-nilai, ketokohan, keteladanan, contoh-contoh bagaimana kebenaran harus ditegakkan,” katanya.
Menurutnya, budaya dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan dipertentangkan. Wayang merupakan sebuah budaya yang di dalamnya juga sarat dengan ajaran-ajaran agama. ”Kata ‘santri’ dan ‘cantrik’ itu khas Indonesia, tidak ada di Arab Saudi dan negara Islam yang lain. Santri itu orang yang hidup di lingkungan pesantren yang didik oleh ulama, kiai untuk mengenal Yang Di Atas, Allah SWT. Nah cantrik itu dididik di sebuah tempat oleh brahmono, orang sakti agar dia tahu adat istiadat, tata krama, dan lainnya. Jadi agama dan budaya tidak bisa dipisah-pisah, harus berjalan beriringan,” urainya.
Dikatakan Gus Jazil, melalui kesenian wayang, diharapkan lahir masyarakat yang mengerti agama dan budaya.
”Kalau itu yang memimpin Indonesia, pasti bagus karena sesuai dengan akal budaya. Pemimpin itu harus mengenal Allah SWT, Tuhan, tapi juga harus tahu budaya, cara hidup bermasyarakat. Agama dan budaya tak hisa dipisahkan, jadi satu,” katanya.
Menurutnya, wayang adalah akulturasi kebudayaan yang melampaui zaman. Wayang merupakan budaya memadukan antara agama dan budaya sehingga menjadi manusia yang utuh.
”Ada tontonan dan tuntunan. Nah, saat ini menjadi tantangan karena kita masuk zaman milenial, zaman now yang kurang mengerti budaya wayang,” paparnya.
Hal yang penting untuk diambil pelajaran dari wayang, tutur Gus Jazil, bahwa hidup adalah pertempuran terus menerus antara yang baik dengan yang salah, antara yang buruk dengan yang benar. ”Nah, hidup selalu ada musuhnya. Ada dua musuh, pertama musuh dalam diri sehingga harus topo broto, tarak (tirakat) dan lain-lain. Kedua musuh dari luar, yang fisik yang kelihatan,” katanya.
Di dalam Islam, kata Gus Jazil, disebutkan bahwa dalam sebuah pertempuran, kebenaran pasti akan menang. ”Wa qul jaa al-haqqu wa zahaqal baatihilu innal baathila kaana zahuuqaa. Dan katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap,” kata Gus Jazil mengutip ayat Al Quran Surat Al Isra Ayat 81.
”Itu sudah rumusnya. Jadi di dunia ini kebenaran pasti mengalahkan kejahatan, meskipun butuh waktu dan perjuangan. Kalau hidup nggak ada musuhnya nggak indah. Dalam agama musuh itu namanya setan. Kalau zaman sekarang musuhnya beragam. Misalnya ada medsos ya musuhnya hoaks, ujaran kebencian, macam-macam. Tetapi kebenaran harus menang dan pasti menang, tapi harus diperjuangkan,” katanya.
Gus Jazil mencontohkan apa yang dilakukan Parikesit dalam tokoh pewayangan, dia bangkit dengan gagah berani untuk memperjuangkan kebenaran.
”Karena kebenaran tidak bisa muncul dengan tiba-tiba seperti matahari terbit karena dalam hidup ini banyak musuh, baik musuh dalam diri maupun dari luar,” tutupnya.