TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menegaskan, konstitusi di Indonesia tidak mengatur soal oposisi. Namun, kehadiran kelompok politik di luar koalisi pemerintah yang disebut oposisi, turut berkontribusi untuk menyeimbangkan demokrasi di Indonesia.
Dengan melakukan prinsip check and balances serta melaksanakan amanat rakyat, maka berapa pun jumlah Partai dan anggota dewan yang beroposisi, telah berperan menyelamatkan praktek demokrasi di Indonesia, agar tetap dalam koridor Pancasila dan UUDNRI 1945. Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid saat bertemu Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) PKS se-Jakarta Selatan di Jakarta Selatan pada Minggu (5/8/2021).
Menurut HNW, apabila ada pihak yang mempertanyakan kegunaan “oposisi” di tengah mayoritas mutlak partai di parlemen yang berkoalisi dengan pemerintah, HNW mengingatkan pentingnya memperhatikan aturan konstitusional bahwa DPR juga berperan untuk mengawasi dan mengontrol Pemerintah, darimanapun juga latar organisasi politik anggota DPR tersebut. Apalagi memperhatikan fakta dan dinamika di parlemen.
“Memang Partai Koalisi itu berjumlah 85 persen di DPR, tetapi apakah efektif meloloskan semua maunya koalisi? dan membuat peran Partai-Partai non koalisi menjadi tidak diperlukan?”tanyanya.
Walaupun jumlah partai oposisi sedikit, kata Hidayat tetapi berbagai capaian telah berhasil dilakukan. Bahkan mendapat dukungan dari Partai-Partai non oposisi juga. Misalnya, PKS dan Demokrat yang di luar koalisi berhasil menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila. Bahkan RUU, itu saat sekarang sudah tidak ada dalam Prolegnas.
“Kami juga tegas menolak amandemen UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan Presiden,” ujarnya.
Meski jumlahnya sedikit, bukan berarti kerja partai oposisi tidak efektif. “Buktinya, banyak juga yang berhasil, sekalipun memang banyak juga yang diputuskan secara voting sehingga mayoritaslah yang memenangkan keputusannya,” ujarnya.
Beberapa keberhasilan non-koaliasi di antaranya, lanjut HNW, adalah kala kritikan PKS bersama berbagai elemen masyarakat diterima oleh Pemerintah, seperti soal Perpres Investasi Miras. “Perpres itu kemudian ditarik dan diperbaiki oleh Presiden Jokowi. Hal itu disebabkan kerasnya suara penolakan dari parlemen dan masyarakat,” ujarnya.
Ada juga kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) terkait Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang menghilangkan frasa agama. Juga Kamus Sejarah yang tidak mencantumkan banyak tokoh umat Islam. Kamus ini diterbitkan oleh Direktorat Sejarah DIrjen Kebudayaan Kemendikbud. “Kebijakan itu akhirnya dikoreksi, setelah ada kritikan yang keras dari oposisi di parlemen dan Ormas-Ormas yang ada di masyarakat,” ujarnya.
HNW menambahkan apabila ada yang mempertanyakan kegunaan oposisi di parlemen, maka bukti-bukti di atas hanya sedikit dari banyak contoh dan bukti yang ada. “Jadi, apakah oposisi itu tidak berguna? Ya, sangat berguna, apabila mempertimbangkan penyelamatan demokrasi, ketaatan pada aturan konstitusi, dan sebagian hasil kerja sebagaimana disebut di atas,” ujarnya.
Meski begitu, HNW mengakui, jumlah suara sangat mempengaruhi keputusan di DPR RI. Sekalipun Pancasila memberikan sila permusyawaratan, tetapi banyak mekanisme pengambilan keputusan juga dilakukan melalui voting. “Kendalanya memang ketika voting. Tapi semoga itu juga mengingatkan tanggungjawab Rakyat ketika mempergunakan kedaulatannya memilih wakil-wakil mereka di DPR,” ujarnya.
Selaku partai oposisi, kata Hidayat saat ini PKS berusaha menjaga dan menegakkan konstitusi dan demokrasi. Antara lain, dengan menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden maupun usulan referendum yang tidak memiliki landasan hukum di Indonesia. Selain itu, dari dalam Parlemen, PKS juga terus menyuarakan aspirasi Rakyat soal penolakan rencana perpindahan ibukota negara. Selain payung hukumnya belum ada, juga prioritas anggaran dan perhatian negara mestinya untuk atasi covid-19 dengan segala dampaknya. Juga agar Presiden lebih mendahulukan melaksanakan janji-janji kampanyenya sendiri, karena program pemindahan Ibukota Negara tidak ada dalam janji kampanye.
“PKS akan menolak itu semua dengan argumentasi yang kuat dan konstitusional yang membawa maslahat yang lebih baik bagi Rakyat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan amanat Rakyat Indonesia pemilik kedaulatan,” pungkasnya.(*)