TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid yang juga Santri alumni Pondok Pesantren Gontor, mendukung komunitas Santri, maju berperan melanjutkan peran hadirnya Islam yang Moderat dan yang Rahmatan lil alamin. Dengan kiprah dan amal shalih, santri diharapkan mampu melanjutkan peran memajukan Umat. Membangun bangsa dan kemerdekaan Indonesia dengan mengisi posisi-posisi strategis di publik. Baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, edukatif, bisnis, ormas maupun orpol.
“Di era Reformasi sekarang ini, tidak ada ruang yang tidak bisa diisi santri. Ada santri yang menjadi Presiden, Wapres, Ketua MPR, Pimpinan DPR, Menteri, Dubes, Anggota TNI dan Polri. Santri juga ada yang jadi Pimpinan Ormas dan Orpol maupun Lembaga Charity. Bahkan, tidak sedikit pula santri yang berhasil menjadi pengusaha sukses. Saat ini, kesempatan bagi santri untuk berperan itu semakin terbuka, tidak ada ketentuan perundangan yang menghambat kiprah Santri. Para Santri banyak yang mengisi posisi strategis tersebut, agar dijaga sebagai amanat, agar bisa dilanjutkan karena manfaat yang dirasakan oleh Masyarakat,” ujarnya melalui siaran pers memperingati Hari Santri pada Jumat (22/10/2021).
HNW (sapaan akrab Hidayat Nur Wahid) mengatakan, sejarah telah mencatat bahwa peran santri untuk menghadirkan dan menjaga kemerdekaan dan dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah besar.
Selain Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober yang jadi dasar penetapan Hari Santri tidak jadi ditetapkan tanggal 1 Muharram sebagaimana janji awal kampanye Capres Jokowi, HNW mencatat, tidak sedikit para founding fathers Indonesia yang berlatar belakang pesantren. Seperti KH Wahid Hasjim dan KH Masjkur (NU), KH Kahar Mudzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), KH Ahmad Sanusi serta KH Abdul Halim (PUI), juga Santri yang pimpinan Partai Islam seperti H Agus Salim dan M Natsir.
“Mereka telah berperan aktif bersama tokoh-tokoh Bangsa, merumuskan dasar dan konstitusi negara. Menyelamatkan Pancasila dan NKRI. Mereka adalah para Santri baik karena pendidikan di Pesantren, maupun karena laku dan ilmunya yang mengamalkan ilmu-ilmu ke-Islaman. Maka sudah sewajarnya apabila para santri mempelajari dan meneruskan kiprah para Santri Pahlawan Bangsa, dalam konteks kekinian untuk menyongsong masa depan,” ujar alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor Darussalam ini.
Para santri, kata HNW, bisa mengikuti jejak para pendahulunya dengan terus menjaga agar Indonesia juga merdeka dari segala bentuk neokolonialisme. Seperti liberalisme, hedonisme, sekularisme, separatisme, komunisme dan radikalisme. Selain aliran-aliran, itu juga bertentangan dengan Pancasila, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah yang diikuti oleh mayoritas Muslim penduduk Indonesia.
“Selain paham-paham menyimpang di atas, neokolonialisme itu bisa juga berupa kemiskinan, ketidakadilan dan kebodohan. Santri harus berperan penting untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman-ancaman nekolonialisme tersebut. Juga menyelamatkan Indonesia dari pemberontakan PKI, sebagaiamana dilakukan oleh santri-santri NU dengan GP Anshornya dan Muhammadiyah dengan KOKAM/Pemuda Muhammadiyahnya,” ujar HNW.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta agar pemerintah juga menaruh perhatian yang serius untuk Kemaslahatan Santri dan Pesantren. Mengingat jasanya sangat besar yang telah dan bisa mereka sumbangkan bagi negara, dan potensi yang sangat besar dalam menjaga dan memajukan bangsa Indonesia. “Misalnya denga memaksimalkan Perpres Dana Abadi Pesantren agar Santri bisa mengakses pendidikan yang lebih berkualitas, agar bisa berperan lebih strategis lagi,” ujarnya.
HNW berharap, tidak ada lagi dikotomi terkait Santri dan Pesantren pasca diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. “Pesantren itu tempat belajar para santri, selain dari yang berorientasi salafiyah/tradisional kitab kuning, tetapi juga ada yang modern/mu’adalah/muallimin/kitab putih. Bahkan juga pesantren terpadu yang integrasikan pendidikan umum dengan agama Islam. Itu semua menurut UU Pesantren masuk dalam kategori pesantren. Namun, selama ini ada kesan bahwa Hari Santri hanya diperingati oleh santri, pesantren, dan Ormas yang akrab dan menggunakan kitab kuning,” ujarnya.
“Saya berharap ke depannya, santri dan pesantren yang berlatar belakang beragam tersebut dapat terus bekerja sama dan berkolaborasi dalam menghidupi dan memaknai Hari Santri, agar Santri selalu Siaga Ilmu, Jiwa dan Raga. Untuk bisa lanjutkan peran mensejarah para Ulama, yang sekarang juga banyak yang wafat karena Covid-19, agar eksistensi NKRI tetap terjaga dan bisa jaya raya dalam koridor yang diwariskan Para Ulama Pejuang Bangsa,” pungkasnya. (*)