TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritisi penghapusan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin (PFM) serta Badan Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Sosial dari struktur organisasi Kemensos.
“Badan Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Sosial yang diperlukan untuk penyiapan dan peningkatan kinerja Kemensos dihapus, juga Ditjen PFM yang selama ini mengelola anggaran bansos terbesar di Kementerian Sosial juga dihapus dengan alasan perampingan organisasi,” ujar Hidayat pasca Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kementerian Sosial, Rabu (19/1/2022).
Politisi yang akrab disapa HNW ini mengingatkan, Ditjen PFM di tahun 2022 mengelola anggaran sebesar Rp45 Triliun untuk dua program bansos utama Kemensos. Yakni Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di tahun 2021 di mana kasus Covid-19 memuncak, Ditjen tersebut juga mengelola bansos tunai, bansos sembako PPKM, dan program sembako kemiskinan ekstrem.
Meskipun masih terdapat beberapa evaluasi, kata Hidayat, keseluruhan bansos berhasil disalurkan kepada lebih dari 95% keluarga penerima manfaat.
Jika Ditjen PFM dihapus dan program-programnya dileburkan ke dalam struktur Kemensos lainnya, HNW khawatir akan ada proses penyesuaian dan adaptasi yang menyebabkan penyaluran bansos menjadi terkendala dan waktu yang makin panjang, dengan akurasi yang bermasalah.
Sementara Rakyat yang berhak menerima manfaat dari program itu makin meningkat jumlah dan keperluannya.
“Apalagi konsep mengenai peleburan bansos dari Ditjen PFM ke ditjen lainnya yang dijelaskan ke Komisi VIII DPR RI belumlah tersusun secara sistematis, sehingga Bu Menteri Sosial perlu menyampaikan kembali secara tertulis dan lebih sistematis. Selain itu akan dilaksanakan FGD khusus untuk membahas dan merumuskan masalah tersebut,” sambungnya.
Ia pun menyebutkan bahwa penghapusan Ditjen PFM ini berpotensi menimbulkan persoalan baru jika muncul bentuk baru penyaluran bantuan sosial yang masih spekulatif di tengah kondisi sosial akibat Covid-19 yang makin berat, misalnya terkait upaya integrasi bantuan sosial dengan menggabungkan berbagai semesta data bansos.
Menurutnya, hal ini potensial menimbulkan munculnya data ganda yang di satu sisi adalah baik karena menunjukkan tiap fakir-miskin menerima lebih dari satu bansos sebagai bagian dari integrasi, namun di sisi lain menunjukkan kerawanan terhadap bansos yang tidak tepat sasaran.
Penagihan dan pembuatan kesepahaman dengan Bank penyalur yang menahan realisasi bansos lantaran urusan-urusan administratif penting segera diselesaikan. Sebab banyak fakir-miskin mengalami kendala dalam hal dokumen kependudukan, dan akses terhadap rekening bansos serta pola berhubungan dengan perbankan.
Selain itu usulan program atensi anak yatim/piatu senilai Rp11,3 Triliun untuk 4 juta anak yang sudah disepakati oleh Mensos dan Komisi 8, dan sudah tersampaikan ke publik, juga harus segera direalisasikan oleh Mensos, melalui koordinasi dan kolaborasi yang lebih intensif dengan Kemenkeu dan Bappenas.
“Masalah-masalah tersebut jika diseriusi pasti membutuhkan fokus mendalam, melalui tim yang solid, yang tidak mungkin diselesaikan jika Mensos juga harus menyiapkan skema bansos baru dengan adanya pergeseran kewenangan antar Ditjen akibat penghapusan Ditjen PFM. Daripada seluruh urusan tersebut tidak teratasi maksimal dan potensial menimbulkan masalah-masalah baru yang tidak membantu negara melaksanakan kewajiban terhadap warga yang berhak mendapat manfaat, lebih baik perubahan SOTK dibatalkan saja melalui penerbitan revisi terhadap Perpres 110/2021,” pungkas Hidayat. (*)