TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono mengatakan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) harus menjadi instrumen kaidah penuntun ke depan. Gagasan adanya PPHN merupakan aspirasi masyarakat yang mewarnai dinamika negara hukum berdasarkan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945. Ma’ruf juga meminta konferensi nasional APHTN-HAN menghasilkan rekomendasi yang berkualitas terkait tema PPHN.
“Tentu kita tidak ingin gagasan PPHN ini terhenti karena urgensi keberadaan haluan negara sudah menjadi arus besar aspirasi masyarakat. Sejak 2014 hingga saat ini, terus menjadi kajian di MPR, terutama di Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan. Ini juga saya kira pekerjaan rumah buat APHTN-HAN untuk ikut berkontribusi memberikan masukan. Saya mengharapkan hasil dari konferensi nasional APHTN-HAN ini terutama dalam pembahasan PPHN bisa melahirkan satu rekomendasi yang kuat, untuk kepentingan nasional (national interest),” kata Ma’ruf Cahyono ketika menjadi narasumber dalam Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), di Denpasar, Bali, Jumat (20/5/2022).
Dalam konferensi nasional kerja sama MPR RI dan APHTN-HAN itu, Ma’ruf Cahyono membawakan makalah dengan tema “Pokok-Pokok Haluan Negara dalam Dinamika Negara Hukum Demokratis Pasca Perubahan UUD 1945”.
Turut berbicara pada sesi ini Ketua KPU Hasyim Asy’ari, Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul, Ketua Pengurus Daerah APHTN-HAN DIY Ni’matul Huda dan Dekan Fakultas Hukum UNS I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani.
Mengawali pemaparan, Ma’ruf Cahyono menjelaskan MPR dengan wewenang dan tugas yang ada saat ini bisa berperan untuk memperkaya, melengkapi, dan mewarnai demokrasi dan nomokrasi di Indonesia. Salah satunya, menerima dan menyerap aspirasi masyarakat maupun daerah, serta stakeholder lainnya, termasuk kalangan akademisi, tentang pentingnya Indonesia mempunyai haluan negara.
“PPHN merupakan sintesa pemikiran-pemikiran strategis masyarakat dan daerah yang masuk ke lembaga MPR dan pada gilirannya melahirkan rekomendasi dari MPR. Artinya, pentingnya kajian tentang PPHN sudah menjadi public policy karena sudah menjadi putusan MPR. Dalam dua periode, yaitu MPR periode 2009-2014 dan periode 2014-2019, MPR merekomendasi hal yang sama, yaitu urgensi menghadirkan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,” jelas Ma’ruf Cahyono yang juga salah satu Ketua APHTN-HAN.
Ma’ruf menambahkan MPR adalah perwakilan yang paling representatif. Rekomendasi PPHN diputuskan anggota MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Karena itu, perlunya kajian PPHN menjadi pandangan bersama para Anggota MPR.
“Intinya, MPR dengan PPHN diharapkan bisa mentransformasi tata nilai ke dalam pranata publik, tata kelola baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun dalam kehidupan masyarakat. Harapannya, PPHN yang dibuat secara demokratis mampu mewadahi, mendinamisasi, dan mempertegas kedaulatan di tangan rakyat,” kata pengajar Magister Hukum di Universitas Jenderal Soedirman ini.
Dengan PPHN, lanjut Ma’ruf, diharapkan terdapat akuntabilitas sosial dan politik, serta hukum, sehingga mampu menjadi instrumen mewujudkan cita negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945.
“Jadi, kalau tata nilai itu masuk ke dalam tatanan tata kelola, maka tujuan Indonesia merdeka dapat diwujudkan yakni terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat. PPHN harus menjadi instrumen ke depan mendinamisasi negara hukum yang demokratis,” kata pria yang sedang menambah gelar doktor di Program Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia ini.
Saat ini pembahasan PPHN sudah memasuki tataran perumusan materi. Namun, sejalan dengan itu masih memerlukan kajian mengenai dimana status hukum PPHN akan diletakan, apakah di Ketetapan MPR (Tap MPR) atau Undang-Undang (UU).
“Kalau diletakkan dalam UU maka ada problem filosofis karena kita mengharapkan PPHN adalah kaidah penuntun yang tidak bersifat teknokratis. PPHN sarat dengan tata nilai yang akan ditindaklanjuti dengan aturan di bawahnya. Karena itu, kaidah penuntun bersifat haluan dan memandu kebijakan di bawahnya,” kata Ma’ruf yang masuk salah satu tokoh inspirasi Jawa Tengah ini.
Pandangan dari kelompok strategis termasuk akademisi, sambung Ma’ruf, ada yang berpendapat agar PPHN sebagai kaidah penuntun tidak diletakan sama dengan UU.
“Tetapi masalahnya, jika MPR mengeluarkan Ketetapan MPR apakah memungkinkan secara yuridis? Jika memungkinkan MPR mengeluarkan Tap, maka mewujudkan PPHN berjalan lancar, dan menemukan landasan hukumnya,” tuturnya.
Karena itu, Ma’ruf berpendapat semestinya tidak ada yang rumit meletakkan PPHN dari aspek yuridis normatif. Sebab, pembentukan hukum pada dasarnya adalah kesepakatan dan kehendak bersama.
Sebagai kehendak bersama tentu tidak bisa diukur benar atau salahnya secara akademik saja, atau baik buruknya secara etis, karena kehendak bersama itu adalah resultante pemikiran yang pada akhirnya diletakan dalam rangka kepentingan bersama, apakah dalam bentuk konstitusi, Ketetapan MPR, atau Undang Undang. (*)