Gatot Nurmantyo mengungkapkan sejumlah persoalan kenegaraan seperti menggadaikan ekonomi, bangsa dan negara dengan sumber daya alam, TKA non skill, kemudian utang luar negeri, serta masyarakat yang semakin terkotak-kotak, dan hilangnya kiblat dan tata cara bernegara yang baik dan benar.
“Akumulasi persoalan itu membuat bangsa ini semakin jauh dari persatuan dan kesatuan untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Budaya gotong royong sudah tidak ada, budaya saling menghargai diganti menjadi saling memaki,” katanya.
Selain itu, rasa persatuan minor hanya sebatas golongan, kelompok, suku dan ras sesuai kepentingan masing-masing. Gatot memberi contoh kasus deportasi Ustad Abdul Shomad (UAS) dari Singapura.
“Pemerintah Singapura melihat Indonesia sudah tidak setara lagi sehingga melakukan deportasi. Nasionalisme kita tercabik-cabik. Ada orang yang mem-bully UAS dan ada yang membela UAS,” tuturnya.
Ketika mantan Gubernur DKI Jakarta dan mantan Ketua BIN Sutiyoso mengingatkan anak bangsa tentang masalah TKA yang masuk bebas saat pandemi, tetapi kemudian dicap sebagai rasis. “Nasionalisme kita sudah sangat merosot dan berada pada titik yang sangat rawan,” imbuhnya.
“Kenyataannya bangsa ini jauh dari Pancasila, jauh dari Bhinneka Tunggal Ika, jauh dari gotong royong. Bukannya meletakkan sendi-sendi bernegara, melainkan meretakkan sendi-sendi bernegara. Ini yang sangat berbahaya,” pungkasnya. (*)