TRIBUNNEWS.COM, BALI - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) Bambang Soesatyo memberi nama Pasha kepada anak Owa Jawa yang baru lahir dari pasangan Paris dan Syahrini.
Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 – 2.000 ekor saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia dan hanya ada di Indonesia.
Owa jawa menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Karena demikian langkanya maka harus ada langkah yang tepat untuk melindungi dan melestarikan hewan tersebut.
Bamsoet mengajak masyarakat untuk terlibat langsung mendukung pelestarian satwa liar. Salah satunya dapat dilakukan melalui penangkaran dengan mengikuti berbagai peraturan yang telah disyaratkan.
Antara lain Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.69/Menhut-II/2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
"Adanya peraturan tersebut memberikan kepastian hukum kepada setiap warga, baik perorangan, koperasi, badan hukum, maupun lembaga konservasi, untuk terlibat dalam pelestarian satwa melalui penangkaran. Melestarikan satwa bukan hanya tugas negara, melainkan tugas seluruh anak bangsa yang memiliki kecintaan terhadap satwa," ujar Bamsoet usai mengunjungi Bali Zoo di Bali, Rabu (14/9/2022).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menuturkan, secara gamblang pasal 76 ayat 2 Permenhut Nomor: P.69/Menhut-II/2013 mengatur permohonan perorangan yang ingin mendapatkan izin penangkaran satwa liar dengan melengkapi sejumlah persyaratan.
Di antaranya, proposal penangkaran untuk permohonan baru atau rencana kerja lima tahunan bagi permohonan perpanjangan yang masing-masing diketahui oleh Kepala Balai. Kedua, fotocopy kartu tanda penduduk atau izin tempat tinggal bagi warga negara asing yang masih berlaku.
"Ketiga, surat keterangan lokasi/tempat penangkaran dari serendah-rendahnya Camat setempat yang menerangkan bahwa kegiatan penangkaran tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Keempat, dokumen atau bukti lain yang menerangkan legalitas asal usul induk, benih atau bibit untuk penangkaran dalam hal induk sudah ada atau surat keterangan rencana perolehan induk dari Kepala Balai. Dan Kelima, berita acara persiapan teknis dan rekomendasi dari Kepala Balai," urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, persyaratan lainnya spesimen hasil penangkaran wajib diberi penandaan.
Tujuannya untuk membedakan spesimen hasil penangkapan dari habitat alam atau hasil pengembangbiakan generasi pertama (F1) atau hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan seterusnya.
"Nantinya, satwa liar yang dilahirkan dari hasil penangkaran tidak bisa serta merta dilepaskan ke alam liar. Karena satwa tersebut sudah terbiasa dengan pakan dan lingkungan yang nyaman. Melepasnya ke alam liar justru malah bisa menyulitkan hidup satwa tersebut," pungkas Bamsoet. (*)