Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj menyiapkan sambutan khusus dalam kunjungan Presiden Amreika Serikat Barrack Obama ke Indonesia.
Inilah testimoni Said Aqil:
SAYA mempersiapkan pidato ini secara khusus untuk menyambut kedatangan Presiden Barrack Husein Obama. Saya sangat menyambut baik kedatangannya ke Indonesia yang sempat tertunda hingga dua kali lantaran situasi dalam negeri di Amerika Serikat memang tidak memungkinkannya untuk melawat ke Indonesia.
Sebagai tuan rumah yang baik, kita harus menghormati siapapun tamu yang datang, termasuk Obama yang secara personal memang memiliki kenangan masa lalu di negeri ini. Kedatangannya itu tentu saja juga merupakan nostalgia baginya.
Menyambut tamu dengan tangan terbuka dan sikap santun adalah cara yang selama berabad-abad diparaktikkan di Nusantara. Sebuah sikap yang mengajarkan kesanggupan untuk berdialog dan bertukar pikiran.
Saya yakin, sebagai orang yang pernah tinggal di Indonesia, tentu Obama cukup banyak mengerti Indonesia. Obama sendiri menulis dalam autobiografi berjudul "Dreams from My Father", yang ia susun saat memimpin jurnal hukum Harvard Law Review. Dalam buku itu, Obama mensyukuri pengalaman hidupnya di Indonesia sebagai sebuah petualangan panjang dan karunia bagi kehidupan seorang anak kecil.
Tentu saja, ini adalah ungkapan nostalgik, namun lebih dari itu, Obama kecil banyak belajar membangun empati dan kepekaan terhadap sesama dari kenyataan hidup masyarakat Indonesia.
Salah satu poin berharga dari Obama adalah kesanggupannya mengolah asal-usul identitasnya yang beranekarupa. Keanekarupaan yang dalam konteks AS kerap distigmatisasi secara derogatif dengan istilah "tragedi mulato". Dalam darah dan genetiknya, Obama ialah pribadi yang menyandang sekian banyak ras dan atribut budaya.
Karenanya, menurut saya, keberhasilan Obama menjadi Presiden AS ialah bukan hanya prestasi demokrasi, namun ialah prestasi kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, kita memiliki segenap unsur dan khazanah lokal yang sangat kaya untuk merumuskan keindonesiaan yang menyadari kebhinekaannya. Ini bukan upaya mudah, namun tidak mustahil selama kita dengan serius dan rendah hati bersedia mengupayakannya.
Seperti kita ketahui bersama, dalam berbagai kesempatan Obama sering menyatakan dan menekankan pentingnya toleransi sesama manusia. Toleransi penting karena perbedaan antar manusia bukan alasan bagi konflik dan kekerasan, namun justru menjadi alasan untuk saling mengenal, saling memperkaya wawasan.
Ini adalah prinsip ta'aruf yang diserukan Al Quran dalam proses penciptaan umat manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Di situ toleransi adalah dasar bagi pergaulan dan persaudaraan umat manusia yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri.
Maka, ketika dalam waktu-waktu terakhir ini, Islam di mata internasional kerap dikonotasikan dengan kekerasan dan terorisme, banyak publik internasional melihat Islam sebagai sinonim atau padanan kata bagi teror. Hal ini tidak hanya menyesakkan dada kaum muslimin mayoritas, namun juga menyesatkan pikiran banyak publik internasional dalam mengenali apa sesungguhnya Islam.
Kita layak bersyukur, Barrack Obama datang dengan pandangan yang jernih dan nalar. Ia sering mengatakan bahwa ia tidak membenci Islam, ia membenci Al Qaeda. Kebencian kepada Al Qaeda semata karena kedzaliman yang mereka lakukan.
Di samping itu, saya berharap kebijakan-kebijakan Obama ke depan bisa membenahi citra dan peran Amerika Serikat di mata umat Islam dalam takaran yang proporsional. Seperti yang kita tahu, banyak sekali kebijakan AS di masa lalu yang mengecewakan dunia Islam maupun dunia internasional.
Contoh yang sering dan mudah disebut adalah sejumlah kebijakan yang terkait dengan Israel, Palestina, Afghanistan, atau dengan kata lain kebijakan Timur Tengah. Termasuk pula adalah kebijakan moneter AS yang menurut sementara pihak berpotensi menimbulkan kesenjangan ekonomi antar negara.
Hal-hal semacam ini sedikit banyak kemudian menimpulkan sikap antipati dan respon negatif banyak pihak, tak terkecuali di beberapa kelompok Islam.
Dunia menyaksikan AS seringkali menerapkan standar ganda dalam perumusan dan eksekusi kebijakan-kebijakannya. Pada satu sisi mengampanyekan demokrasi di level wacana, namun di sisi lain justru banyak praktik yang berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Dalam contoh kasus Israel-Palestina, misalnya, kita bisa bertanya mengapa Pemerintah AS hanya diam dan membiarkan keterindasan masyarakat Palestina berlarut-larut sementara kepentingan Israel lebih banyak dibela?
Contoh lain adalah perang saudara di Afghanistan. Sudah semestinya AS tidak perlu ikut campur terlalu jauh dan dalam pada persoalan ini hingga mengirim tentara. Menurut hemat saya, perang saudara di Afghanistan adalah urusan masyarakat Afghanistan yang penyelesaiannya justru lebih efektif jika diinisiasi oleh orang Afghanistan sendiri.
Keterlibatan AS secara militer dan politik yang terlalu jauh tidak menyelesaikan masalah, namun justru bisa menambah dan memperluas skala masalah yang sudah ada. Di sini, saya perlu menegaskan bahwa kami tidak pernah membenci AS, namun kami tidak senang dengan sejumlah kebijakan AS yang membuka celah konflik dan kesenjangan di dunia internasional.
Saat ini masih ada waktu dan kesempatan bagi AS untuk mengembalikan atau merehabilitasi nama baiknya di mata umat Islam. Jangan sampai AS kehilangan atau melewatkan kesempatan berharga ini. Kesempatan ini antara lain ditandai dengan kian banyaknya upaya-upaya tokoh-tokoh muslim moderat yang gigih menampilkan wajah Islam yang ramah, terbuka, dan jamak.
Islam sebagai sebuah keyakinan relijius, praktik kebudayaan, dan khazanah keilmuan tidak berwajah tunggal atau monolitik.
Perbedaan adalah sesuatu yang dalam historisitas peradaban Islam bisa dimoderasi dengan banyak cara. Perbedaan demi perbedaan diolah dalam rangka memperkaya keluasan pandangan dan cakrawala berpikir. Dalam aneka perbedaan itulah, jumlah tokoh dan organisasi Islam yang mendakwahkan nilai-nilai moderat jauh lebih banyak daripada tokoh dan organisasi yang menampilkan Islam dengan perspetif kebenaran tunggal.
Dengan demikian, saya berharap kedatangan Obama kali ini bisa meningkatkan hubungan Indonesia-AS dalam hubungan kemitraan yang setara. Orientasi yang perlu untuk selalu ditekankan adalah orientasi kemaslahatan bagi rakyat.
Keberhasilan hubungan kedua negara sangat berpengaruh bukan hanya untuk Indonesia atau AS, namun juga bagi iklim dialog dunia internasional. Jika hubungan kemitraan yang baik bisa terwujud, fenomena Obama akan sesuai dengan namanya sendiri: barrack, barokah, berkah.
Akhir kata, kalau ada pihak-pihak yang keberatan dengan kunjungan Obama, hendaknya hal itu disampaikan dengan cara yang baik dan santun. Dengan sikap ini, setidaknya kita ikut serta untuk tidak memperbanyak alasan dan pembenaran bagi prasangka negatif yang selama ini sering dialamatkan pada kita.(*)
Ini Testimoni Ketua Umum PBNU Menyambut Obama
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Juang Naibaho
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger