TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian Corruption Watch (ICW) melihat kasus dugaan suap yang menyeret Hakim Syarifuddin dilatarbelakangi keserakahan. "Sekarang suap bukan berlatar belakang kebutuhan tapi keserakahan dan kerakusan," kata Peneliti ICW, Tama Satya Langkun ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (3/6/2011).
Menurut Tama, kenaikan renumerasi yang diterima oleh hakim, harus diikuti penguatan fungsi pengawasan dari internal dan eksternal serta pemberian reward and punishment. Sepanjang hal ini tidak berjalan akan membuka peluang hakim untuk melakukan tindakan tercela seperti suap dan pemerasan.
Selain itu, adanya penangkapan hakim Syarifuddin juga melengkapi potret suram pengadilan. Data ICW, melihat sebelumnya sudah ada sedikitnya empat hakim yang ditangkap dan diproses oleh penegak hukum, antara lain Ibrahim (Hakim PTUN Jakarta atas dugaan suap oleh DL Sitorus), Mutahdi Asnun (Hakim PN Tanggerang atas dugaan suap oleh Gayus Tambunan), Herman Alositandi (Hakim PN Jakarta Selatan atas dugaan pemerasan saksi kasus korupsi Jamsostek).
ICW kemudian meminta Hakim Syarifuddin dituntut dengan hukuman maksimal. Syarifuddin dapat
dijerat pasal huruf 12 huruf a dan atau huruf b dan atau huruf c dan atau pasal 6 ayat 2 dan atau pasal 5 ayat 2 dan atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Syarifuddin bisa diancam hukuman pidana paling berat selama 20 tahun penjara.
"Hal ini untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan shock therapy bagi hakim yang lain," tukasnya.