News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi Wisma Atlet

Wafid Muharam, Ibunda, dan Hari Penghakimannya

Penulis: Vanroy Pakpahan
Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Sesmenpora, Wafid Muharam, menjalani persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Rabu (23/11/2011). Jaksa penuntut umum KPK menuntut Wafid pidana penjara enam tahun dan denda Rp 200 juta dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI Palembang. (tribunnews/herudin) Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kemenakertrans, I Nyoman Suisnaya, menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan terkait kasus suap dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kemenakertrans, di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, Rabu (16/11/2011). Nyoman didakwa oleh penuntut umum KPK maksimal 20 tahun penjara. (tribunnews/herudin)

Laporan wartawan Tribunnews.com, Vanroy Pakpahan

TRIBUNNEWS.COM - Sosok itu masih melaksanakan segala rutinitasnya hingga hari ke-21 di bulan April itu. Sore di hari itu, rutinitas itu pun tak bisa lagi dilakukannya. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "menghapus" rutinitas itu dari keseharianya. Wafid Muharam pria itu. Hari ini, 242 hari berselang sejak hari terkelam bagi Sesmenpora non aktif itu, Wafid duduk di kursi pesakitan menanti penghukuman.

Wafid menjemput hari penghakimannya, Senin (19/12/2011) ini dengan menepikan diri menghaturkan syukur dan doa harapan di kamar "hotel prodeonya" sejak Minggu (18/12/2011). Doa yang dipanjatkannya hanya satu, agar Ibundanya tercinta mau memberi ampun kepadanya.

"Saya memohon ampun kepada Allah SWT karena telah bertindak dzolim kepada diri sendiri dan keluarga sehingga saat ini saya menjadi terdakwa. Keberadaan saya di cipinang, saya pergunakan untuk melipatgandakan amal ibadah dalam rangka mempersiapkan diri menghadap Al-Khaliq Yang Maha Adil," ujar Wafid dalam secarik coretan tangannya dari balik jeruji sel sebagaimana ditirukan Erman Umar.

Besar di pedalaman Garut bagian selatan, membuat pria berusia 51 tahun itu tak pernah bermimpi terlalu tinggi dalam hidupnya. Apalagi sejak usia 5 tahun, dirinya sudah ditinggal pergi sang ayah yang lebih dulu menghhadap sang khalik. Hany sosok sang ibu yang menjadi suri tauladan bagi Wafid. Dengan mengandalkan gaji seorang guru Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar, ibu, ungkap Wafid, mengajarkan nilai dan arti sebuah pengabdian.

Ibu, seorang diri membesarkan Wafid dan enam saudara kandungnya. Di sisi lain, Ibu juga masih "membesarkan" anak-anak SD walau harus berjalan kaki belasan kilometer setiap harinya menggapai tempatnya mengajar. Semangat ibunda inilah, yang menjadi inspirasi Wafid untuk berani mewujudkan cita-cita.. Jiwa pengabdian yang ibu teladankan, kata Wafid, membuat diirnya memilih terlebih dahulu menjadi Tenaga Kerja Sukarela (TKS BUTSI) selama tiga tahun begitu lulus perguruan tinggi. Cita-cita ini sudah ada dalam hati sejak Sekolah Menengah Atas.

Selesai mengabdi sebagai TKS BUTSI, Wafid kemudian terpikir menjadi pegawai baik di pemerintah maupun swasta. Bukan tanpa sebab Wafid ingin menjadi pegawai. Dia sadar tak terlalu berbakat menjadi wiraswasta. Sulitnya menggapai mimpi menjadi pegawai kemudian membawa Wafid menjadi penjual koran di terminal Cicaheum Bandung.

Perjuangan ini berbuah manis manakala di tahun 1988, Wafid dipercaya menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semenjak menjadi PNS, Wafid mengaku selalu berusaha untuk mendisiplinkan diri dan secara penuh mengabdi. Hal itu lantas terbayarkan dengan peningkatan karir.

"Semua mengalir seperti air, dan saya hanyut didalamnya, karena bagi saya jabatan adalah amanah yang tidak boleh ditolak, dipilih, apalagi diminta. Loyalitas dan kepercayaan bagi saya adalah segalanya. Loyalitas dan kepercayaan, tidak hanya kepada dan dari pimpinan, tapi kepada dan dari semua yang menjadi mitra kerja baik internal maupun eksternal," katanya.

Karir Wafid terus menanjak hingga pada tahun 2008 dipercaya menjadi Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga. Sebuah jabatan, yang diakui Wafid, di luar jangkauan mimpinya. Semakin tinggi pohon semakin deras angin meniupnya. Menjadi Sesmenpora semakin besar reskio yang harus dihadapi Wafid. Wafid menyadari betul hal ini. Dirinya sepenuhnya sadar akan selalu dituntut untuk menjamin kantor berjalan sepanjang hari, sepanjang minggu, dan sepanjang tahun. Wafid pun diwajibkan menjamin mitra kerja eksternal terutama pemuda dan olahraga terlayani dengan paripurna.

"Saya bukan pejabat yang cengeng sehingga selalu atau sering melapor permasalahan kepada pimpinan. Selama masalah itu bisa di selesaikan, tidak ada keharusan saya untuk melapor. Yang harus saya laporkan adalah apabila mau mengambil kebijakan dan atau ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan," imbuhnya. Sifat dan sikap inilah yang kemudian membawa Wafid pada kejadian 21 April silam. Pengabdiannya harus berbuah pada proses hukum. Dia dituduh menerima suap dari PT Duta Graha Indah Tbk dalam jabatannya sebagai Sesmenpora. Wafid bersikukuh kalau uang sebesar Rp 3,2 miliar yang dianggap suap oleh KPK itu adalah pinjaman kementerian.

"Saya mengharapkan pinjaman dalam bentuk tunai. Karena sudah terlanjur janji untuk segera membayarkan honor kepanitiaan SEA Games," ucapnya. Dana talangan, kata Wafid, lazim di Kemenpora. Apabila kebutuhan anggarannya sangat besar atau mendesak, imbuhnya, beberapa unit sering meminta bantuannya untuk mencarikan dana talangan tersebut, dengan dirinya sebagai jaminan.

"Dana talangan inilah merupakan upaya solutif tercepat mengatasi kemandekan kegiatan, baik eksternal maupun internal," tuturnya. Kini, jerih payah Wafid untuk membahagiakan Ibunda terpaksa harus sirna. Dia tak bisa menghidupi ibunda dengan cukup. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut menyita uang pribadi yang ada di tas Wafid. Tidak hanya US$ 5000, namun hingga Rp 1 juta pemberian ibunda beberapa tahun yang lalu sebagai bekalnya menunaikan ibadah haji.

"Permasalahan yang saya hadapi dan persidangan yang saya jalani ini, telah membuat saya sadar, bahwa saya terlalu bersemangat ingin memberikan pelayanan yang terbaik dan tercepat kepada Kantor Kemenpora dan semua rekan - rekan, tanpa saya sadari bahwa saya kurang memperhatikan secara benar batas-batas kewenangan dan kewajaran saya sebagai pejabat pemerintah," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini