Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan menyatakan hari Ibu, yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember merupakan hari membebaskan perempuan dari kekerasan.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan untuk Pendidikan, Riset dan Partisipasi Masyarakat, Neng Dara Affiah, kekerasan yang dimaksud adalah fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Saat ini para istri dan ibu belum terbebaskan dari kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
“Hari Ibu bukan semata-mata memperingati jasa ibu yang memang memiliki peran penting dalam kehidupan domestik kita bersama. Dalam konteks publik dan kebangsaan, Hari Ibu adalah hari di mana sejumlah organisasi perempuan pada tahun 1928 berkumpul dan melakukan Kongres Perempuan I yang dihadiri 1.000 orang untuk mendeklarasikan perjuangan melawan kolonialisme, memikirkan konsep negara bangsa dan mengantarkan pada apa yang disebut sebagai era Kebangkitan Nasional," kata Neng Dara, Kamis (22/12/2011).
"Peringatan hari Ibu cenderung melupakan makna sejarahnya dan yang mengemuka justru seremoninya,” tambahnya.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2010, dari total 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat, 96 persen atau 101.128 kasus adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sementara itu, hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun 1998-2010 menunjukkan 1/4 atau 93.960 kasus adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual.
Kasus yang kini marak dan peristiwanya terus berulang adalah perkosaan dalam angkutan kota. Hal ini, kata Neng Dara, semestinya menjadi perhatian penting pemerintah, terutama pemenuhan keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban dan memberi sangsi hukum yang setimpal bagi para pelakunya.
”Jika kekerasan terhadap perempuan masih sangat menguat di sekitar kita, maka pemberdayaan terhadap perempuan akan sangat sulit dilakukan, sebab prasyarat perempuan untuk berdaya adalah membebaskannya dari kekerasan dalam bentuk apapun. Kekerasan terhadap perempuan berdampak secara mental pada depresi dan kerapuhan jiwa yang akut, kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, keinginan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. Secara fisik pun ia akan berdampak masalah-masalah kesehatan reproduksi perempuan,” pungkas Neng Dara Affiah.