TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan mengatakan SBY tidak bisa melakukan penunjukan langsung untuk mengisi kekosongan kursi ketua umum yang ditinggalkan Anas.
"Langkah terbaik yang bisa dilakukannya adalah menggelar kongres namun dengan cara aklamasi. Kongres ala Bandung tidak bisa lagi dilakukan karena justru setelah kongres Bandung lah muncul friksi-friksi dan faksi-faksi didalam tubuh Partai Demokrat," kata Kacung ketika dihubungi wartawan, Senin (4/3/2013).
Menurutnya, posisi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa disamakan dengan posisi penguasa-penguasa partai lainnya. SBY tidak bisa bertindak semaunya, karena posisinya sebagai presiden yang harus menjaga nilai-nilai demokrasi dengan baik.
“Berbeda dengan di partai lain, posisi SBY tidak sama dengan mereka. Mereka bisa bertindak otoriter di partai dengan dibungkus sistem demokrasi, sementara SBY tidak bisa karena dia presiden. Kalau SBY bukan presiden maka SBY akan lebih leluasa untuk memanage Partai Demokrat dan bertindak “otoriter”,” ujar Kacung.
Kacung mengatakan, harus ada konsolidasi dimana akan dihasilkan suara aklamasi terhadap kader yang akan mengisi ketua umum. KLB ala Bandung justru akan menimbulkan faksi dan friksi yang justru akan menjadi bumerang terhadap upaya konsolidasi partai dengan pemimpin baru.
Calon-calon yang harus dimunculkan menggantikan Anas haruslah orang-orang yang tidak mempunyai konflik dengan Anas dan bisa diterima oleh Cikeas.
”Kalau Syarief Hassan dan Jero Wacik saya rasa sulit untuk menjadi ketua umum karena selain tidak mengangkar, mereka juga berkonfrontasi langsung dengan Anas. Loyalis Anas akan sulit menerima itu. Kalau mau cari orang yang netral baik terhadap kubu Cikeas maupun Anas. Mereka masuk langsung dalam lingkaran konflik,” katanya.
Sementara itu Pengamat Politik dari CSIS, J.Kristiadi mengatakan permasalahan kepatronan SBY di dalam demokrat terjadi karena munculnya patron kedua yaitu Anas Urbaningrum di Partai Demokrat.
SBY yang sebenarnya menginginkan agar terjadi transformasi kepatronan dirinya harus kecewa ketika hal itu tidak berjalan dan justru muncul patron lainnya.
“Siapa bilang PD tidak ada patron seperti partai-partai lainnya? Sama saja, di Demokrat ada SBY. Tapi SBY yang menginginkan agar kepatronan dirinya dihilangkan diganti dengan sebuah sistem demokrasi yang bisa berjalan baik harus kecewa ketika Anas memenangkan kongres," katanya.
Kristiadi mengatakan ini semua bisa terjadi karena PD adalah partai yang sama sekali tidak memiliki sistem kaderisasi sehingga tidak ada loyalitas kader bagi PD. Siapapun bisa masuk maka menjadi masalah dalam situasi seperti sekarang ini.
Klik: