TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Demokrasi yang sudah disepakati di Indonesia baru sebatas ritual dan Prosedural. Hal ini tercermin dalam Pemilu, Pemilukada atau kongres-kongres Partai politik.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR) Hajriyanto Y Thohari dalam pesan eletronik yang diterima wartawan, Senin (1/4/2013), terkait amuk massa di Palopo, Sulawesi Selatan karena ketidakpuasan salah satu massa pendukung terhadap penghitungan suara.
"Budaya demokrasi seperti mentalitas demokratis, tenggang rasa terhadap perbedaan pendapat, etika sportif, dan sebagainya, masih sangat lemah. itulah sebabnya, kalau kalah atau kecewa mereka mutung dan melakukan amok (tindakan-red) yang sangat anarkis," ungkapnya.
Menurut Politisi senior Golkar ini, jika sudah bertindak anarkis maka yang menjadi sasaran tidak lagi masuk akal Secara tidak rasional dan ngawur.
"Mereka merusak, menghancurkan, dan membakar gedung-gedung kepunyaan publik. Itu semua karena belum berkembangnya apa yang disebut etika politik sportif, yaitu sikap politik sportif kalau kalah dalam pemilu/kada," tegasnya.
Lebih jauh, Hajriyanto mengatakan kecenderungan politik menarik diri atau political withdrawal itu diwujudkan dalam Politik yang sedikit-sedikit mengancam dan kemudian mengamuk dan Ini pertanda demokrasi belum matang karena tidak adanya paralelisme antara format demokrasi dan substansi demokrasi, antara ritual-ritual demokrasi dan mental demokrasi.
"Aparat keamanan jangan ragu-ragu menghadapi perusuh seperti itu. Mestinya segera diamankan dan diproses secara hukum," tambahnya.
"Sikap tegas aparat polisi akan mendidik perpolitikan Indonesia menjadi lebih menjunjung etika sportif, baik bagi massa maupun elite. Bisa diduga kerusuhan pembakaran tersebut digerakkan oleh elite-elite politik yg kecewa tetapi tidak berjiwa sportif," demikian Hajriyanto.