TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Luhut Pangaribuan menyatakan, berdasarkan surat keterangan dari Rumah Sakit Kesehatan Jiwa (RSK) Hurip Waluya, Karang Tineung, Bandung, Jawa Barat, pada 3-15 Februari 1997, ahli JPU, Dr.Ir Asmiati Rasjid, dosen di Institut Management Telkom, Bandung, pernah menjadi pasien di rumah sakit jiwa tersebut, sehingga tidak bisa disumpah keterangannya
Disisi lain, Asmijati dinilai juga tidak jujur dan memiliki konflik interest karena masih berstatus sebagai pegawai salah satu operator di tanah air.
"Pertama dia tidak jujur, di BAP dia menyatakan sebagai dosen di STT Telkom padahal sejak 2010 berdasarkan keterangan Yayasan Telkom yang menaungi sekolah tersebut, yang bersangkutan bukan lagi dosen. Disisi lain sebagai pegawai Telkom sampai hari ini tentu ada conflict of interest. Padahal sebagai ahli dia harusnya netral, karenanya kami meminta majelis hakim mempertimbangkannya," kata Luhut.
Hal ini terungkap dalam sidang tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi oleh Indosat IM2 yang digelar di pengadilan Tipikor (11/4/2013).
Agenda persidangan kali ini pemeriksaan saksi fakta dan ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kehadiran ahli dari JPU ini sempat dipertanyakan kredibilitasnya oleh penasihat hukum terdakwa, sidang pun sempat diskors oleh majelis hakim.
Sedangkan ahli lainnya yang juga coba diajukan berasal dari BPKP, Nasrul Waton, Kasubdit Investigasi BPKP Pusat menurut Luhut, dengan adanya putusan sela PTUN yang menyatakan bahwa obyek sengketa berupa kerugian negara yang dihitung oleh BPKP, dinyatakan diskors atau tidak berlaku sampai ada putusan hukum yang tepat. Maka hasil audit BPKP tidak bisa digunakan dan ini bisa melanggar ketetapan Menpan. Namun, meski sempat menskors persidangan, majelis hakim mengganggap persidangan tetap dilanjutkan.
Dalam persidangan Ahli Asmijati Rasjid menegaskan bahwa ISP tidak diperkenankan memakan jaringan bergerak. "Jaringan yang diperbolehkan untuk ISP itu tidak boleh jaringan komunikasi bergerak seluler. Seandaipun bisa itu namanya bukan ISP lagi, tapi Mobile Virtual Network Operator, penyelenggara jaringan bergerak seluler dan itu tidak mungkin Jastel, ISP hanya bisa menggunakaan jaringan frekuensi tetap," terangnya.
Luhut Pangaribuan menjelaskan bahwa keterangan ahli sama sekali tidak mendukung dakwaan. "Saksi-saksi sebelumnya yang pernah dihadirkan selalu menjelaskan bahwa tidak ada tercatat frekuensi 2,1 Ghz sebagai aset IM2, jadi kalau di klaim IM2 memiliki frekuensi 2,1 Ghz harusnya tercatat, tetapi ini tidak," kata Luhut.
Pihaknya juga menyoroti pernyataan saksi fakta, Endah Fitriani, Mantan Manager Accounting IM2, menyatakan pemeriksaan mengenai kewajiban bayar BHP ini sudah transparan "Dalam proses Coklit, Kemenkominfo didampingi BPKP, dan tidak ada peringatan bahwa IM2 belum membayar BHP, dalam hal ini BHP frekuensi," imbuhnya.