TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Jika jaksa penuntut umum dan auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tetap memeriksa dugaan kasus korupsi frekuensi 3G Indosat-IM2 di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipokor), maka dua pihak tersebut terancam sanksi hukum.
Pasalnya, alat bukti yang telah diajukan jaksa maupun auditor kepada hakim Tipikor masih jadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Salah satu alat bukti adalah hasil audit BPKP terkait nilai kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun.
Jhon Thomson, penasehat hukum mantan Direktur IM2 Indar Atmanto dalam gugatan di PTUN, mengingatkan, agar BPKP tidak menggunakan objek sengketa pemeriksaan sampai ada kekuatan hukum yang mengikat (incraht) terkait benar tidaknya nilai kerugian negara.
“Jika jaksa penuntut umum tetap menjadikan objek sengketa di PTUN itu sebagai alat bukti, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum (tidak mematuhi hukum), begitu juga dengan Nasrul Wathon selaku auditor BPKP," tulis Thomson dalam surat tertanggal 15 April 2013 yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI dan Kepala BPKP.
Ancaman ini bukan tanpa dasar, Thomson mengacu pada tiga beleid yakni, surat edaran (SE) Menpan No 471/1/1991 tentang Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara, SE Menpan No SE/24/M.PAN/8/2004 dan SE Mahkamah Agung No 2 tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan peradilan tata usaha negara.
Sekedar informasi, jaksa masih memeriksa hasil audit BPKP terkait kerugian negara sebesar Rp 1,3 trilun atas perjanjian kerja sama Indosat-IM2 dalam sewa jaringan frekuensi 3G di pengadilan Tipikor. Hasil audit inilah yang menjadi dasar dakwaan.
Padahal, di lain pihak, hakim PTUN masih memeriksa sah tidaknya hasil audit. Hakim PTUN juga telah mengeluarkan penetapan pendahuluan No. 231/G/2013/PTUN-JKT agar para pihak menunda hasil temuan kerugian negara itu.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad yang dikonfirmasi Jumat lalu menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin mengomentari masalah tersebut.
"Kita hormati proses hukum yang sedang berjalan," katanya.
Di lain kesempatan, Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Kamilov Sagala minta agar Jaksa Agung tidak gampang bicara pengadilan di Indonesia dipenuhi dengan mafia hukum.
"Seperti kata pepatah, statement Jaksa Agung Basrief Arief tentang mafia peradilan bagaikan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri," ujar Kamilov.
Kamilov menegaskan, pernyataan Jaksa Agung yang meminta para hakim menjaga martabatnya terkait maraknya mafia peradilan sebagai pernyataan yang kurang proporsional dan cenderung menyalahkan pihak lain dalam hal maraknya mafia peradilan di Indonesia.
"Dalam proses peradilan, selain hakim sebagai penimbang dan pemutus vonis suatu kasus, ada juga jaksa penuntut dan advokat. Jadi, hemat saya, pernyataan Pak Basrief Arief seperti memukul air di dulang kena muka sendiri," ujarnya.
Kamilov menilai, justru banyak terdapat jaksa yang bekerja secara amatiran dan tidak profesional. Ia mencontohkan sejumlah kasus seperti IM2, Chevron dan Merpati. Untuk kasus Merpati, hakim sudah memutuskan dua pimpinan Merpati tidak bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan.
"Ketiga kasus itu menunjukkan dengan amat jelas dan nyata, bahwa berkas kasus yang dilimpahkan jaksa ke pengadilan atau yang sudah P21, tidak dilandasi oleh alat bukti yang kuat. Jaksa bekerja secara tidak profesional," tegas Kamilov.
Karena itu, ujar Kamilov, lemahnya dakwaan jaksa atas kasus IM2 dan Chevron berpotensi ditolaknya dakwaan jaksa dan sekaligus mencerminkan kuatnya dugaan Jaksa Agung bahwa peradilan dipenuhi mafia hukum, tidak hanya terjadi pada hakim tapi juga jaksa.