Laporan Warta Kota, Budi Sam Law Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengaku menerima ribuan pengaduan dari masyarakat di seluruh Indonesia, terkait Ujian Nasional (UN), yang membuat stres anak atau para pelajar.
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, mengatakan untuk itu sejak awal pihaknya meminta UN untuk dihapuskan, jika UN digunakan sebagai salah satu parameter atau penilaian kelulusan siswa.
Arist mengatakan UN sebaiknya tidak digunakan sebagai salah satu parameter atau penilaian siswa. Namun UN idealnya digunakan pemerintah sebagai pemetaan dunia pendidikan anak Indonesia.
Dengan pemetaan itu, pemerintah bisa mengembangkan dan memfokuskan pendidikan secara spesifik di daerah-daerah tertentu.
"Putusan Mahkaman Konstitusi secara jelas mengatakan UN harus dievaluasi. Ini menandakan UN tidak tepat sebagai salah satu parameter kelulusan siswa. Tapi lebih ideal sebagai pemetaan pemerintah dalam melihat permasalahan pendidikan di Indonesia," papar Arist saat ditemui Warta Kota di ruang kerjanya di Jalan TB Simatupang, Pasarrebo, Jakarta Timur, Jumat (26/4/2013).
Selain itu, tambah Arist, pelaksanaan UN yang carut marut menandakan pemerintah tidak siap menyelenggarakannya. "Saya rasa pemerintah saat ini juga senang, jika UN dihapuskan. Karena ini membebani kerja mereka. Dan uang anggarannya bisa digunakan untuk memajukan dunia pendidikan anak Indonesia melalui program yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dan lebih mengedepankan pembentukan karakter anak," papar Arist lagi.
Arist mengatakan yang paling menderita dalam pelaksanaan UN ini adalah siswa SD. Pasalnya potensi tumbuh kembang mereka terkontaminasi oleh ketegangan, bahwa jauh-jauh hari sebelum UN dilaksanakan. Sementara usia mereka yang rata-rata 12 sampai 13 tahun belum pantas menghadapi tekanan dan ketegangan yang mencekam seperti itu.
"Lihat saja, sebelum UN banyak sekolah mengadakan istiqhosah atau doa bersama. Ini membuktikan UN membuat suasana pendidikan dan sekolah Indonesia mencekam," kata Arist.