Ditulis oleh Wakil Menkum HAM RI Denny Indrayana,
TRIBUNNEWS.COM - KITA harus berterima kasih kepada Komjen Polisi (Purn) Susno Duadji, yaitu jika beliau menyerahkan diri dan menghormati pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasusnya.
Sayangnya Pak Susno Duadji justru melawan pelaksanaan eksekusi. Perdebatan hukum berseliweran, menyebabkan sebagian kita menggeleng-gelengkan kepala, bingung. Kenapa persoalan hukum yang sederhana menjadi sedemikian rumit? Mengapa persoalan prosedur hukum mengaburkan inti permasalahan? Benarkah putusan kepada Pak Susno Duadji batal demi hukum?
Hormati Putusan MA
Sudah menjadi kebenaran universal, bahwa putusan pengadilan harus dihormati. Utamanya, atas putusan yang telah final and binding harus dilaksanakan alias dieksekusi. Dalam perkara Pak Susno, putusannya telah sampai pada MA, yang secara jelas menolak kasasi yang diajukan Pak Susno Duadji.
Penolakan itu tidaklah punya makna lain melainkan hanya: MA menguatkan putusan pada tingkat banding, maupun tingkat pengadilan negeri. Pada kedua putusan tersebut Susno Duadji dengan jelas dinyatakan bersalah dan dihukum pidana 3 tahun 6 bulan penjara atas kasus korupsi penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat pada 2008.
Putusan yang sudah terang-benderang janganlah dimaknai lain, terlebih tidak dilaksanakan. Pemaknaan Pak Susno Duadji bahwa putusan MA tidak menyatakan dia bersalah, tidak memerintahkan penahanan, dan lain sebagainya, adalah pemaknaan pribadi. Putusan MA yang menolak permohonan kasasi Pak Susno Duadji bukan untuk didebat, tetapi dilaksanakan. Jika Pak Susno Duadji tidak setuju, maka beliaulah yang harus melakukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali.
Putusan Tidak Otomatis Batal Demi Hukum
Memang benar bahwa putusan kasasi MA tersebut tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, sehingga pihak Terpidana Susno Duadji menilai bahwa putusan MA tersebut tidak dapat dieksekusi.
Kita sama-sama paham bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut pernah diajukan uji materi ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012, MK pada intinya memutuskan bahwa norma yang mengatur mengenai persyaratan adanya keharusan dalam suatu putusan pengadilan memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai putusan pengadilan batal demi hukum. Pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut, di antaranya:
Sungguh sangat ironis, bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak adanya perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan yang sesungguhnya merupakan substansi ikutan dari adanya putusan yang menyatakan terdakwa bersalah dan penjatuhan pidana terhadapnya.
Bagi MK, tidak dicantumkannya perintah penahanan di dalam surat putusan pemidanaan dapat saja terjadi karena disengaja denganitikad buruk untuk memberi kesempatan kepada terpidana untuk melakukan langkah-langkah membebaskan diri. Misalnya, hakim yang bersangkutan dapat saja berpura-pura lupa mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sehingga putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Putusan Tidak Otomatis Batal Demi Hukum
Lebih jauh MK mengatakan, kalaupun benar suatu putusan batal demi hukum, maka dia tidak otomatis terjadi, tetapi pembatalannya harus melalui putusan pengadilan pula.