Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Leonard A.L Cahyoputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bupati Bogor Rahmat Yasin mengatakan, saat pemeriksaan hanya ditanya seputar hal teknis terkait proses penerbitan izin lahan Tempat Pemakaman Bukan Umum(TPBU) di Desa Artajaya, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, Rahmat yang keluar pukul 18.40 WIB itu mengaku diminta keterangan sebagai saksi atas tersangka ID, NS, UJ, LWS, dan SS.
"Pertanyaan seputar teknis. Artinya saya membedah proses penerbitan Surat Keputusan Bupati yang saya tanda tangani. Latar belakangnya, alasan filosofis, yuridis, dan lainnya," kata Rahmat kepada wartawan usai diperiksa selama 8 jam di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2013).
Rahmat mengatakan soal penerbitan izin kuburan mewah itu memang sudah tugasnya.
"Saya jawab dengan tegas itu (kepada penyidik) memang kewajiban saya sebagai bupati. Sebagai pejabat administratif harus tanda tangan," ujar politisi PPP tersebut.
Saat ditanya soal dugaan menerima uang dari proyek itu, Rahmat lagi-lagi membantah. Dia bahkan kembali menyatakan lepas tangan saat anak buahnya terbukti menerima suap dalam pengurusan izin lahan itu.
"Yang gratifikasi itu kan bukan saya. Seluruh prosedur tidak ada yang dilanggar. Kalau persoalannya di luar ada ini itu, itu di luar tanggung jawab saya," lanjut Rahmat.
Rahmat kembali mengakui pernah berkomunikasi dengan tersangka ID sebanyak satu kali, dalam kaitan pengurusan lahan makam itu. Tetapi, dia membantah tidak pernah menerima apapun dari pengurusan proyek itu.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima tersangka. Yakni UJ (Usep Jumeno, pegawai salah satu dinas di Pemerintah Kabupaten Bogor, diduga perantara), LWS (Listo Wely Sabu, pegawai honorer PemKab Bogor), NS (Nana Supriatna, swasta), SS (Sentot Susilo, Direktur PT Garindo Perkasa), dan ID (Iyus Djuher, Ketua DPRD Kabupaten Bogor).
Dalam kasus ini, KPK menjerat para tersangka dengan pasal berlapis. ID, UJ dan LWS sebagai penyelenggara negara diduga melanggar pasal 12 huruf a atau b, atau pasal 5 ayat 2, atau pasal 11 Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara NS dan SS sebagai pemberi suap dijerat pasal 5 ayat 1 atau pasal 13 Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.