TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya kepala daerah yang masuk penjara akibat tersangkut tindak pidana korupsi, menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat apatis dan menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
"Jika fenomena kepala daerah masuk penjara akibat korupsi terus berkelanjutan, maka sangat dikhawatirkan makin tergerusnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah, dan ini sangat memprihatinkan," ujar Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, H. Irmadi Lubis, Rabu (29/5/2013).
Menurut anggota Komisi VI ini, tersangkutnya kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi, tidak terlepas dari besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan sebagai kepala daerah melalui sistem pemilihan kepala daerah ( Pilkada) secara langsung.
Proses rekrutmen calon kepala daerah yang ditanggung mendorong si calon setelah menjadi kepala daerah fokus untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan. Dana akan makin membengkak, jika si calon diusung koalisi beberapa partai politik.
Menurut Irmadi, PDI Perjuangan sendiri sudah mulai menerapkan biaya gotong royong untuk berkompetisi di Pilkada, sehingga calon yang dimajukan tidak karena punya banyak modal, dan si calon tidak sepenuhnya terbebani biaya Pilkada.
"Pada Pilkada Gubernur DKI, Pilkada Sumut, Pilkada Jawa Barat, Pilkada Bali dan Pilkada Jawa Timur, PDI Perjuangan telah menerapkan pendanaan gotong royong dari kader, khususnya yang berada di legislatif, " ujarnya.
Irmadi Lubis mengakui, sistem Pilkada merupakan sistem yang paling demokratis, tetapi pelaksanaan Pilkada yang kita terapkan belum bisa mewujudkan tujuan kita, sebab Pilkada kita laksanakan belum pada waktu yang tepat dan pas.
"Sejatinya, pilkada dengan hasil yang ideal bisa kita laksanakan jika rakyat sudah sejahtera dan tingkat kesadaran bernegara sudah membaik," katanya.