TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wafatnya Taufiq Kiemas diprediksi akan membuat hubungan dua partai politik besar, Partai Demokrat dan PDI Perjuangan kembali merenggang. Kini, PDI Perjuangan harus mencari lagi orang yang setara kemampuannya dengan almarhum Taufiq Kiemas untuk membangun kembali 'jembatan emas' yang sudah dilakukan semasa hidupnya.
"Dengan tiadanya TK(Taufik Kiemas), tentu hal yang harus dikembangkan di PDIP adalah sosok-sosok yang juga bisa memainkan peran sebagai impartial leader(pemimpin yang berimbang) yang kuat sehingga sistem orang akan sehat," kata Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto kepada Tribunnews, Minggu(9/6/2013).
PDIP dan bangsa Indonesia saat ini kata Gun Gun memang sangat kehilangan politisi senior dan negarawan yang bisa berperan sebagai jangkar beragam kekuatan berbeda-beda. Almarhum Taufiq Kiemas lanjut Gun Gun adalah sosok yang selalu mengembangkan pola komunikasi politik yang sirkular bukan linear, hal itu yang pernah ia tunjukkan dengan membangun interaksi politik dengan Partai Demokrat meski terus berbeda pandangan dengan sang istri Megawati Soekarno Putri.
"Dia tidak kaku, tetapi selalu membuka 'zone of possible agreement' dengan banyak pihak termasuk lawan politik PDIP dan dirinya. TK(Taufik Kiemas) bagi PDIP sendiri memiliki posisi unik, karena sebagai keluarga inti Mega, yang juga Ketua Umum PDIP, TK memainkan peran sebagai pemberi kritik konstruktif dan melengkapi kekurangan bu Mega. Contohnya dalam memfasilitasi hubungan Mega-SBY,"kata Gun Gun.
Direktur The Political Literacy Institute ini menambahkan dalam berbagai kesempatan, almarhum Taufiq Kiemas sudah mendorong perlunya regenerasi kepemimpinan nasional dan mendukung tampilnya generasi muda baik di jabatan presiden, caleg, pengurus partai maupun pilkada-pilkada.
Hal tersebut kata Gun Gun menjadi pernyataan menarik dan patut ditindaklanjuti sebagai bagian dari kanalisasi SDM.
"Kaderisasi menjadi salah satu kunci utama transformasi PDIP sebagai partai modern. Sentralisasi power di bu Mega dan menjadikan Soekarnoisme sebagau referent power harus sudah diperkuat dengan bangunan sistem organisasi. Gejala 'group think' harus berganti dengan sistem orang yang berbasis kader,"ujarnya.