TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarga korban penembakan di tahanan di Lapas Cebongan, Kamis (20/6/2013), meminta Mahkamah Agung (MA), terbuka dalam seluruh proses persidangan.
Dalam pernyataannya Kamis, pihak keluarga, mengatakan sejak awal telah menolak persidangan para tersangka di peradilan militer, karena dinilai tidak transparan.
"Karena unsur transparansi dalam Peradilan Militer sama sekali tidak bisa dijamin. Ini terbukti dengan tidak hadirnya para pihak yang berperkara. Peradilan Militer hanya melestarikan posisi institusi militer di era Orde Baru sebagai negara dalam negara, dimana supremasi militer terhadap masyarakat sipil berlangsung dengan semena-mena."
Pihak keluarga juga menyesalkan kehadiran sejumlah orang di persidangan yang dinilai telah melakukan intimidasi terhadap persidangan.
"Kehadiran para milisi merupakan intimidasi serius terhadap para saksi. Sikap masa bodoh yang ditunjukkan pihak militer maupun pihak kepolisian terhadap kehadiran para milisi merupakan bukti nyata persengkongkolan yang mengingkari nilai republik," tutur mereka.
Mereka juga menyesalkan belum tersentuhnya tanggungjawab komando di tubuh Kopassus, Kodam Diponegoro, maupun Polda DIY, dalam kasus ini.
"Peradilan Militer ini hanya menyentuh para pelaku langsung dan tidak menyentuh aspek tanggungjawab komando di tubuh Kopassus, Kodam Diponegoro, maupun Polda DIY. Mutasi kepada Pangdam Diponegoro dan Kapolda DIY hanya merupakan bentuk cuci tangan institusi kepolisian dan TNI-AD dalam kasus ini, dan hanya menempatkan perkara ini sebagai perkara para prajurit kecil," beber mereka.
Tak hanya itu, keluarga juga menuntut proses persidangan dipindahkan dari Yogyakarta ke kota lain, agar berlangsung adil.
"Keluarga tetap menuntut agar dibentuk Tim Indipenden yang mengusut secara menyeluruh kasus Tragedi Yogyakarta, dimulai dari Hugo’s Cafe, Polda DIY, hingga Lapas Cebongan. Itikad baik seluruh pihak untuk membuka kasus ini menjadi pertaruhan terlaksananya nilai-nilai Republik."