TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi organisasi masyarakat sipil antikorupsi mendesak agar DPR tidak mengesahkan RUU Ormas. Walaupun rencananya dalam sidang paripurna 2 Juli 2013 nanti akan disahkan DPR.
Koalisi menilai hal tersebut tidak cukup untuk menjamin kebebasan berserikat. Pasalnya, masih terbuka kemungkinan RUU Ormas untuk disahkan. Menurut koalisi perwakilan dari lima lembaga tersebut, DPR lebih baik mengurusi pemberantasan korupsi, daripada hanya sibuk mengatur Ormas.
"Upaya ngotot DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Ormas dengan beranggapan bahwa Indonesia butuh RUU Ormas yang baru sangat tidak masuk akal," kata Erwin Natosmal Oemar Peneliti Indonesian Legal Rountable di kantor Indonesian Curruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (29/6/2013).
Erwin menegaskan, RUU Ormas lahir dengan pertimbangan politik, bukan pertimbangan hukum. Semangat DPR dan pemerintah saat ini sama dengan rezim orde baru, yang hanya mengedepankan stabilitas politik, sehingg memandang bahwa dinamika masyarakat sipil perlu dikontrol dengan ketat.
"Bungkam koruptor bukan Ormas. Permasalahan utama ialah korupi bukan ormas. Bagaimana mereka memandang permasalahan yang ada di negeri ini sebenanya? Ormas seperti kami, yang keras bicara korupsi, namun malah diperlakukan sebaliknya," lanjutnya.
Ditempat yang sama Hifadzil Alim, Peneliti Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM menuturkan, jika RUU Ormas benar disahkan kebebasan berserikat akan terkekang.
"DPR sesat membentuk rancangan UUD Ormas. DPR saat ini telah dengan sengaja membunuh kebebasan berkreasi, beraktifitas. Kami yang turut serta memberantas korupsi, malah ikut diberantas," kata Alim.
Menurut Alim, DPR kekeh untuk meloloskan RUU DPR lantaran disusupi kepentingan politik untuk pemilu tahun 2014 dan sama sekali tidak menyuarakan kepentingan rakyat.