Laporan Wartawan Tribun Jambi, Suang Sitanggang
TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Membaca buku-buku pelajaran sewaktu duduk di bangku SMA. Itulah aktivitas yang kini selalu dijalani Besudut setiap hari.
Ia berlatih mengerjakan berbagai soal ujian dari buku ujian masuk perguruan tinggi yang dibelikan lembaga pendampingnya, KKI Warsi.
Berbincang dengan Besudut membuat waktu tidak terasa berputar. Cerita kehidupannya bagai lautan luas yang tak bertepi.
Kehidupannya adalah dongeng yang nyata. Kisah yang mengharukan, menyenangkan, dan romantisme orang muda, berpadu dalam diri Besudut.
Keinginannya untuk maju dengan cara bersekolah, yang ditentang orang sekelilingnya di rimba, menjadi bagian kecil dari kisah mengharukan itu.
Ia harus rela meninggalkan keluarga di rimba, demi cita-cita menjadi orang pintar, sehingga bisa memajukan kaumnya, orang rimba.
Ia pun berbagi cerita tentang susahnya menempuh sekolah, saat memutuskan mengikuti SMP terbuka di Muara Tabir, Kabupaten Tebo.
Ia menempuh pendidikan di sana, karena saat kelas II usai ujian, dia memutuskan berhenti dari sekolah formal dan kembali ke keluarganya di rimba.
Model SMP terbuka memberi harapan bagi besudut untuk bisa tetap tinggal bersama keluarga di dalam rimba, sekaligus menyelesaikan sekolahnya. Di SMP terbuka, ia hanya diwajibkan mengikuti pelajaran sekali dalam seminggu.
"Tiap Selasa," ujarnya kepada Tribun Jambi (Tribun Network), pekan lalu.
Ia mengisahkan, walau masuk sekolah tiap Selasa, ia sudah harus berangkat dari rimba sehari sebelumnya. Sebab, jarak antara keluarganya dengan sekolah cukup jauh. Dia jalan kaki tiap Senin sore, agar besoknya tidak terlambat tiba di sekolah.
"Jalan kaki sekitar tiga jam," ucapnya menyebut waktu tempuhnya.
Perjalanan itu menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Ada kalanya ia sendiri, dan ada kalanya bersama teman-temannya di dalam rimba yang sedang ingin bepergian ke desa, menjual hasil hutan atau sekadar jalan-jalan.