TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat asosiasi perangkat seluler global alias Global System for Mobile Communications Association (GSMA) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa berpengaruh terhadap citra pemerintah.
Surat sebagai tanda kekhawatiran investor asing di sektor telekomunikasi, dalam menjalankan usaha di Tanah Air.
“Saya ingin kasus Indosat terang benderang, tidak ada yang ditutup-tutupi, karena menyangkut nasib investor dan kredibilitas pemerintah,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring dalam siaran pers, Rabu (14/8/2013).
Menurut Tifatul, karena kasus ini menyangkut kepastian hukum berinvestasi, ia meminta waktu untuk menanggapi surat tersebut.
Karena, ia harus berkoordinasi dengan seluruh instansi terkait yang terlibat dalam pemeriksaan kasus Indosat IM2.
Ia berpendapat, IM2 mungkin merasa 'ditarik ke sana ke mari', karena munculnya regulasi yang tidak jelas. Karena menyangkut aturan, Tifatul menjelaskan, surat dari asosiasi GSMA bukan tanggung jawab Menkominfo semata, melainkan melibatkan pihak yudikatif.
“Saya perlu waktu membahasnya dengan institusi terkait, yakni Kejaksaan Agung atau Mahkamah Agung. Kalau yang ditanyakan itu, soal kepastian hukum, saya kan harus koordinasi dengan instansi yang bersangkutan,” jelasnya.
GSMA pada akhir Juli lalu, bersurat kepada Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono, dan Menkominfo Tifatul Sembiring. GSMA menyatakan keprihatinan atas putusan bersalah hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap PT Indosat dan PT IM2.
Surat yang disampaikan secara terbuka kepada publik melalui laman GSMA, Minggu (11/8/2013) lalu, meminta SBY melakukan intervensi dalam bentuk dialog konstruktif, antara pihak penegak hukum di pengadilan dengan pelaku industri telekomunikasi.
Sebab, setelah putusan bersalah IM2, ada kebingungan para pengusaha di sektor telekomunikasi seluler dan ratusan penyelenggara jasa internet, yang punya model bisnis sama dengan Indosat dan IM2. Kebingungan itu dinilai akan memengaruhi investor untuk memberikan layanan internet di Indonesia.
"Akan menghalangi dan menunda pemodal untuk memberikan layanan internet yang cepat, andal, dan terjangkau. Ini berisiko terhadap perekonomian Indonesia. Karena itu, harus ada pedoman yang jelas tentang regulasi telekomunikasi di Indonesia untuk menghindari situasi tersebut," papar Direktur Jenderal GSMA Anne Bouverot.
GSMA punya kewenangan menetapkan standarisasi seluler GSM di seluruh dunia. Asosiasi ini menaungi 219 negara dari 800 operator seluler dan 200 perusahaan bidang perangkat keras dan lunak telepon genggam. GSMA bermarkas di London, Atlanta, Hong Kong, Shanghai, Barcelona, dan Brussel. (*)