TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya kejadian 'Toilet Remang' yang diduga bentuk lobi politik agar lolos sebagai Hakim Agung, menguatkan kembali agar Calon Hakim Agung (CHA) tidak diseleksi di DPR.
Uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR dinilai tidak perlu diadakan karena membuka peluang praktik-praktik suap.
"Itu seperti yang dituntut beberapa orang ke Mahkamah Konstitusi (MK), review untuk tidak dipilih DPR tapi disetujui. Bunyi konstitusinya kan tidak dipilih DPR tapi disetujui," ujar Imam Anshori Saleh, Anggota Komisi Yudisial RI / Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi, di KY, Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Menurut Imam, sesuai konstitusi untuk rekrutmen CHA, DPR tinggal menyetujui atau tidak menyetujui CHA yang diajukan di KY. Sebelumnya, KY yang melakukan seleksi sebelum nama tersebut disodorkan ke DPR.
Menurut Imam, proses seleksi di KY sudah cukup dalam menyeleksi CHA karena pengujinya dihuni bekas hakim agung, pakar, dan ahli lainnya.
"Jadi lebih pas kalau di DPR itu kayak pilih Kapolri, cuma satu kan. Harusnya MK mempertimbangkan itu, (DPR) tidak memilih, tapi menyetujui," kata Imam.
Sekedar diketahui, dalam seleksi CHA ketentuannya adalah tiga berbanding satu yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY yang menyebutkan KY menetapkan dan mengajukan tiga calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan hakim agung dengan tembusan ke Presiden.