TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Aboebakar Al Habsy menilai proses seleksi hakim agung merupakan persoalan yang sensitif. Sebab, katanya, hal itu terkait marwah supreme court (pengadilan tertinggi) Republik Indonesia.
"Bila memang ada yang memiliki bukti percaloan dalam pemilihannya, silakan laporkan ke yang berwenang agar ketahuan siapa yang lulusnya pakai duit," kata Aboebakar kepada Tribun, Senin (23/9/2013).
Namun, ia mengatakan bila tak punya bukti, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak memperkeruh suasana. "Bila memang seorang hakim agung harus mengeluarkan uang sampai miliaran rupiah untuk bisa lolos seleksi, tentunya hakim agung yang terpilih hanya yang kaya saja," ujarnya.
Padahal, kata Politisi PKS itu, banyak di antara mereka yang masih harus mengangsur mobil karena tidak sanggup untuk beli secara tunai. Aboebakar bahkan mengaku mendapatkan data dari calon hakim agung yang hanya memiliki saldo tabungan sebesar Rp 5 juta. Namun ia tidak mengungkapkan identitas calon hakim agung tersebut. Dengan nilai saldo tabungan yang minim, kemungkinan kecil bisa menyuap sampai miliaran rupiah.
"Saya berharap persoalan ini tidak kemudian menghilangkan kewibawaan para hakim agung yang ada, karena di tangan merekalah justice of the last resort," tuturnya.
Pernyataan Aboebakar ini menanggapi isu suap pada proses seleksi hakim agung di DPR yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Calon hakim agung yang tidak bisa menyediakan uang suap, banyak yang tersingkir meskipun telah mengantongi nilai dan track record hakim tersebut bagus dari komisi yudisial.
Ketua Kelompok Fraksi Demokrat di Komisi III DPR Edi Ramli Sitanggang juga gerah dengan tudingan yang mengarah kepadanya. Ia mengaku siap melakukan sumpah pocong bila menerima uang suap terkait calon ketua hakim agung. "Saya siap sumpah pocong," kata Edi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/9/2013).
Edi pun meminta semua pihak jangan asal menuding soal suap calon hakim agung. Apalagi sempat disebutkan penerimanya adalah perempuan dari Demokrat. "Jangan mentang-mentang ketua fraksi kita perempuan. Tidak ada arahan dari fraksi. Jauh banget itu," ujar Edi.
Ia pun membantah bila terjadi transaksi mengenai pencalonan hakim agung. Namun, Edi mengatakan bila terjadi komunikasi dengan calon hakim agung itu tidak masalah. "Tidak ada (uang). Sampai sekarang sampai hari ini tidak pernah," ujar Edi.
Sebelumnya, mam Anshori Saleh, komisioner KY mengatakan jika anggota Komisi III DPR yang hendak menyuap dengan Rp 1,4 miliar itu berasal dari fraksi Demokrat. Lobi-lobi politik tersebut semakin terkuak karena anggota KY lainnya, Eman Suparman, mengaku pernah ditelepon tiga kali oleh orang berbeda dari DPR terkait seleksi calon hakim Agung. Sayang, Eman bersikeras hanya memberitahu pelakunya kepada anggota atau pimpinan DPR yang dia kenal. Ferdinand Waskita
Baca ulasan "Seleksi Hakim Agung" klik Tribun Jakarta Digital atau copy paste link berikut ini http://digital.jakarta.tribunnews.com/index.php/edition/2013/09/23/petang