TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy berpendapat, liberalisasi dan globalisasi akan menjadi suatu keniscayaan jika Indonesia sudah siap bertarung di tingkat global.
Adapun kaitannya dengan 4 pilar bangsa, apabila Indonesia melakukan perbaikan iklim investasi asing dengan menghentikan utang luar negeri, membangun kebijakan politik berbasis kerakyatan, tata ulang kelembagaan negara, menata sumber daya manusia, dan mengaudit semua perjanjian luar negeri.
Menurutnya, Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2013 di Nusa Dua, Bali, tak akan bermanfaat bagi Indonesia, jika bangsa ini tidak mempunyai daya tahan yang kuat dalam persaingan dunia global, khususnya dalam liberaliasi ekonomi dan investasi.
"Justru liberalisasi tersebut akan menciptakan ketimpangan, dan kita hanya akan menjadi pecundang. Karena itu siapa pun presiden terpilih 2014 mendatang akan tetap dimanfaatkan oleh Amerika Serikat (AS)," kata pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi ‘APEC dan 4 Pilar Bangsa’ bersama Ketua FPKB MPR RI M. Lukman Edy, dan staf khusus Presiden SBY Firmanzah di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (30/9/2013).
Menurut Noorsy, kalaupun AS gagal memanfaatkan presiden, maka dia akan masuk melalui 7 menteri; yaitu menteri keuangan, perdagangan, pertanian, kehutanan, kesehatan, sosial, dan menteri perindustrian, dan siapapun yang tak berpihak pada AS maka dia akan dijatuhkan.
Lukman Edy menyayangkan selama ini Presiden SBY membuat perjanjian dengan dunia terlebih dahulu, sebelum minta persetujuan DPR RI.
“Harusnya meminta persetujuan DPR RI terlebih dahulu sebelum melakukan perjanjian dengan luar negeri. Itu sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat (2)," katanya.
Khusus APEC, kata Lukman, ada dua kepentingan yaitu mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi, dan negara-negara yang tergabung dalam APEC bisa mengubah kesepakatan APEC sendiri untuk menjaga kepentingan ekonomi negaranya.
Menurut Lukman, anehnya kepentingan ekonomi negara kita justru sebesar 70 persen nilai ekspor selama ini ke negara-negara APEC, tapi defisitnya masih besar karena nilai impornya lebih besar dibanding ekspor.
“Kita tak proaktif mendorong liberalisasi sektoral. Jadi, Indonesia dalam APEC ini membela siapa? Karena selama ini tak pernah berbicara kesenjangan kaya-miskin. Ditambah lagi mengkalim sebagai negara maju, sebaiknya jujur sebagai negara berkembang,” kata Lukman.
Firmanzah mengatakan keikutsertaan Indonesia dalam APEC ini untuk menjalankan konstitusi, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan, di mana sudah dua kali menjadi tuan rumah pada 1994, dan 2013 ini.
“Jadi, kita ikut mendorong pengurangan kesenjangan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur karena dana APBN tak mencukupi. Nilai investasi asing khususnya 5 negara besar (AS, Australia, Jepang, Korsel, Singapura dll) saat ini mencapai Rp 647 triliun. Itu yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi dunia,” kata Firmanzyah.
JS