Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengabulan Peninjauan Kembali (PK) Pollycarpus, pembunuh aktivis HAM Munir Said Thalib, oleh Mahkamah Agung, dinilai mencederai rasa keadilan.
Koordinator Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) Choirul Anam mengatakan, para aktivis maupun keluarga besar Munir merasa dikecewakan karena pengabulan PK mantan pilot Garuda Indonesia itu tidak sesuai prinsip keadilan.
"Kami kecewa, karena pengabulan PK Pollycarpus itu menciderai prinsip keadilan. Seharusnya, MA tak mengabulkan PK itu, karena dia sudah terbukti membunuh alamarhum Munir," kata Choirul Anam.
Secara hukum, kata dia, Pollucarpus sudah terbukti dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun MA menjadi orang terpenting dan paling bertanggungjawab atas kematian pegiat Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontas) tersebut.
"Logika hukum yang dibenarkan pengadilan sebelumnya ialah, kalau tidak ada Pollycarpus, maka Munir tak akan mati diracun. Jadi, bisa dikatakan, Pollycarpus menjadi penentu apakah Munir mati atau tidak. Karenanya, pengabulan PK dia saat ini, kami nilai tidak fair (adil)," jelasnya.
Anam menuturkan, keputusan MA pada tahun 2008 yang menerima PK dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara sudah tepat secara prosedural maupun prinsipil.
"Kejagung memang berhak mengajukan PK kepada MA. Kami juga bisa menerima keputusan MA saat itu. Karenanya, pihak Pollycarpus sebenarnya tak berhak mengajukan PK terhadap PK tersebut," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, MA menerima peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana pembunuh Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus mengajukan PK atas putusan PK yang diajukan Kejaksaan Agung.
Kuasa hukum Pollycarpus, M Assegaf, mengatakan terdapat alasan-alasan kuat untuk mengajukan PK atas PK Kejagung tersebut. Ia mengatakan, ada sejumlah kejanggalan dalam putusan PK MA pada 2008 lalu yang menghukum kliennya selama 20 tahun penjara.
"Perjalanan kasusnya Pollycarpus itu banyak hal-hal yang kontroversial. Salah satunya ketika di pengadilan tinggi terjadi perbedaan pendapat pada hakim-hakimnya. Ketua majelisnya sendiri mengatakan, Polly tidak terbukti bersalah. Kemudian kasasi karena terjadi perbedaan pendapat. Dua lawan satu. Yang satu mengatakan bersalah, dan yang dua mengatakan Polly tidak bersalah. Maka, Polly dibebaskan ketika itu. Namun, setelah bebas selama setahun, MA mengeluarkan putusan untuk memenjarakan Polly lagi selama 20 tahun," ujar Assegaf di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/6/2011).