TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin berpendapat memberikan kewenangan KY untuk MK dengan menerbitkan Perppu itu tidak etis, apalagi kewenangan itu sudah dibatalkan oleh MK.
“Kita memang prihatin, dan sedih dengan kondisi MK saat ini, tapi jangan sampai MK dibubarkan. Mestinya Majelis Kehormatan MK memberhentikan Akil Mochtar dengan tidak hormat,” ujar Lukman Hakim Saifuddin dalam diskusi ‘Runtuhnya Benteng Keadilan MK’ bersama praktisi hukum Refly Harun, dan pakar hukum tata negara Irman Putrasidin di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (7/10/2013).
Kondisi peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) memang sedang runtuh, dan berat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap MK tersebut dengan tertangkap tangannya Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Lebak banten.
“Apakah mengeluarkan Perppu itu sudah cukup alasan yang memaksa dan kegentingannya untuk MK sekarang? Kegentingan yang seperti apa? Juga soal pengawasan MK oleh Komisi Yudisial (KY) itu sendiri sudah dibatalkan oleh MK sendiri, apa Perppu itu untuk mengembalikan kewenangan KY?” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP PPP itu mengatakan pemberhentian Akil tak usah menunggu DPR RI, karena alasan hukumnya sangat kuat dengan tertangkap tangannya Akil oleh KPK, ditambah lagi ada ganja dan narkoba di laci ruangan Ketua MK tersebut.
“Begitu juga untuk menentukan Ketua MK yang baru. Dari 8 hakim MK yang ada, itu sudah bisa memilih salah satunya menggantikan Akil Mochtar,” katanya.
Meski banyak kalangan yang ingin mengembalikan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Agung (MA) setelah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun praktisi hukum Refly Harun menolak wacana tersebut, karena masalahnya akan lebih buruk jika ditangani MA. Dan, Pilkada itu masih dalam paradigma pemilu, kecuali kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Saat ini momentum terbaik untuk memperbaiki MK, tapi bukan dengan mengembalikan sengketa Pilkada ke MA. Kita tahu di MA pasti akan lebih buruk nasibnya. Karena Pilkada itu masih dalam paradigma pemilu mengingat kepala daerah dipilih langsung, kecuali dipilih oleh DPRD,” kata Refly Harun.
Menurut Refly, dirinya menolak kalau dikembalikan ke MA dengan segala konsekuensinya, bahwa penanganan hukum (electoral justice system) itu lebih baik dan lebih konsptual di MK.
“Jauh lebih baik di MK dibanding MA. Untuk itu, MK harus tetap menjadi pengaduan terakhir keadilan pemilu, tak perlu lagi melibatkan MA dan PT TUN,” katanya.
Menyinggung soal pengawasan terhadap MK kata Refly, yang harus diawasi itu perilaku atau kelakuan para hakim MK, dan bukan lembaga MK.
“Perilaku hakim MK itu yang harus dikontrol, dan hasil pengawasannya diserahkan ke Majelis Kehormatan MK. Sama halnya dengan DPR RI yang diserahkan ke Badan Kehormatan DPR,” ujarnya.