Tribunnews.com - Terseretnya nama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus suap Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, tak lantas langsung meruntuhkan dinasti politik Atut yang ada di Banten.
Pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Gandung Ismanto, berpendapat dinasti politik Atut di Banten tidak akan langsung runtuh karena telah memiliki akar kekuasaan yang kuat. Menurutnya akar kekuasaan itu tak sebatas politik formal, namun sudah merasuk ke politik informal yang lekat dengan kultur dan psikologi masyarakat setempat.
"Tidak mudah mengatakan dinasti ini runtuh. Tergantung variabel lain seperti elite politik lain dan kelas menengah Banten. Saya kira jika elite politik lain dan kelas menengah masyarakat belum siap, justru 2014 menjadi titik balik pengokohan dinasti ini dan bukan sebaliknya seperti yang diduga orang akan runtuh," jelasnya.
Mengenai rilis FITRA yang menyebut borosnya APBD 2013 Pemprov Banten dimana anggarannya banyak diberikan pada lembaga vertikal sejumlah Rp 6,27 miliar, Gandung berpendapat hal tersebut adalah modus suap yang memanfaatkan kewenangan yang dimiliki. Menurutnya bukan hal baru suap dengan mengatasnamakan hibah atau bantuan sosial yang diberikan kepada tokoh masyarakat, ormas, sampai unsur Muspida.
"Meski tidak otomatis terpengaruh, saya melihat sebagai modus suap yang memanfaatkan kewenangan dengan alasan membangun sinergi dengan unsur Muspida," ujarnya.
Gandung juga berkomentar mengenai "hilangnya" Ratu Atut sejak dicegah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keluar negeri. Menurutnya sebagai pejabat negara, Atut seharusnya melakukan klarifikasi terhadap sangkaan yang ditujukan kepada dirinya.
"Ini sikap yang seharusnya tidak dilakukan pejabat negara setingkat Gubernur. Kalau sudah dapat info cegah, lakukan klarifikasi. Apalagi besok akan dipanggil KPK. Harusnya tidak ada sikap yang menghambat proses hukum seperti alasan tidak tahu kenapa dipanggil oleh KPK," imbuhnya.