TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah kembali menyatakan penolakannya terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), PP Muhammadiyah mengatakan pemerintah ikut campur dalam mengatur kebebasan berserikat dalam masyarakat.
"Masyarakat diatur sedemikian rinci padahal dalam kebebasan berserikat itu tidak perlu pengaturan secara rinci. Berarti pemerintah ikut campur terlalu dalam. Pemerintah tidak boleh mengatur secara detil kehidupan masyarakat," ujar Syaiful Bakhir, Ketua Tim Kuasa Hukum PP Muhammadiyah, Rabu (23/10/2013).
Syaiful menyayangkan sikap pemerintah yang ingin menertibkan ormas dengan menerbitkan undang-undang. Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan penegak hukum semisal polisi jaksa dan pengadilan untuk menindak ormas anarkis.
"Kalau anarkis itu urusan penegak hukum. Tidak boleh dikaitkan dengan aturan lebih rinci atau dalam undang-undang ormas. Kalau kita lihat Pasal 28 UUD 1945, itu ada undang-undang berserikat dan berkumpul, undang-undang berserikat kan sudah ada, undang-undang sospol tentang parpol," kata dia.
Lebih jauh, Syaiful mengatakan UU Ormas tersebut menyamakan Muhammadiyah dengan ormas-ormas yang usianya masih muda. Padahal, kata dia, PP Muhammadiyah sendiri sudah dibentuk sebelum Indonesia merdeka.
Syaiful pun mengkritik kurang lebih 99 pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur secara rinci yayasan, ormas, dan lain sebagainya.