TRIBUNnews.com, JAKARTA - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono naif dan seperti “cacing kepanasan” menanggapi dugaan kasus penyadapan yang dilakukan dinas intelijen Australia terhadap beberapa pejabat top Indonesia. Seharusnya pemerintah bersikap preventif dan tidak utopis melihat hubungan antar negara.
Hal itu dikemukakan Ketua DPP PDI Perjuangan Dr Andreas Hugo Pareira di Jakarta Selasa (19/11/2013), menanggapi respons dalam negeri atas dugaan penyadapan yang dilakukan dinas rahasia Australia. Pejabat Indonesia sewot, sementara Australia tenang-tenang saja.
"Sehingga jangan ada anggapan, apabila sudah menjadi negara sahabat, maka seolah-olah operasi intelijen termasuk tindakan sadap-menyadap, tidak ada lagi. Kalau beranggapan demikian, Pemerintah RI dan Menlu RI terlalu naif," kata Andreas.
Menurutnya, anggapan demikian akibat jargon atau prinsip politik luar negeri SBY, "thousand friends zero enemy "(ribuan teman tanpa musuh), yang sesungguhnya naif dan utopis. Padahal, jargon demikian tinggal jargon, karena dalam praktiknya berbeda sama sekali.
Mendukung sikap SBY terhadap penyadapan Badan Keamanan Nasional (NSA) Australia kepada Indonesia, sama saja mendukung kebodohan Pemerintahan SBY. Menurutnya, sikap demikian adalah nasionalis utopis yang membela kenaifan SBY.
"Seharusnya, Pemerintah SBY lebih realistis dan menyadari, karakter hubungan internasional secara universal memang lebih realis ketimbang idealis-utopis," ujar Andreas, doktor ilmu politik internasional dari Universitas Giessen, Jerman.
Politik luar negeri dan politik pertahanan-keamanan memang seharusnya mengedepankan prinsip realisme politik berbasis kepentingan nasional, yaitu, suatu negara melakukan apa pun demi membela kepentingan nasional. Ini prinsip yang tak bisa ditawar.
“Realisme berbasis kepentingan nasional, dipraktikkan semua negara dengan pemimpin rasional. Dari dulu sampai sekarang tetap demikian dan tidak akan pernah berubah," tambah Andreas, yang mengambil S-2 Studi Politik Asia Tenggara di Universitaet Passau, Jerman.
Diharapkan, kasus penyadapan ini menyadarkan pemerintahan SBY dan jajaran diplomasinya untuk lebih realistis terhadap hubungan internasional modern, ketimbang mengedepankan politik luar negeri thousand friend zero enemy yang lips service belaka.
Andreas mencontohkan, belum lama ini terbongkar, NSA Amerika menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia. Nomor kepala negara diketahui, setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya.
Itulah yang dibongkar Edward Snowden, yang kini mendapat suaka di Rusia. Laporan Snowden menyebutkan, NSA memantau 200 nomor, 35 di antaranya adalah milik kepala negara. Negara-negara sahabat Amerika ribut, termasuk Jerman.
Kanselir Jerman Angelina Merkel, marah, karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA. Kendati Sekretaris Pers Gedung Putih membantah, Amerika tidak memantau dan tidak akan memonitor komunikasi Kanselir Jerman, tidak meredakan kemarahan Jerman.
Bukan hanya ribut soal penyadapan antara Amerika dan Negara-negara Uni Eropa, antara Amerikat Serikat dan Israel, masih terjadi saling sadap. Amerika pernah mengeluhkan praktik Mossad (Dinas Rahasia Israel) yang malah beroperasi di wilayah Amerika.
“Amerika Serikat pernah marah besar kepada Israel, karena peristiwa bom yang menewaskan 299 marinir Israel di Libanon (23 Oktober 1983), sebetulnya sudah dicurigai Mossad akan ada tindakan teror, tapi tidak dilaporkan kepada Amerika,” katanya.
“Maka jelas, SBY sungguh naif dalam merespon praktik intelijen di Indonesia. Lebih berguna memikirkan pencegahan ketimbang komentar tak berguna,” katanya lagi.