TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) mengakui banyak peralatan IT yang diberikan pemerintah Australia. Polri mengakui menggunakan perlatan IT hibah Australia dalam melakukan penyidikan.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengatakan bahwa bentuk peralatan yang dihibahkan pemerintah Australia banyak terutama peralatan yang menunjang cyber crime.
"Waduh kalau ini banyak sekali peralatannya, baik hardware, software, tapi sudah diperiksa dan dicek semua, ini berkaitan dengan cyber forensic atau laboratorium cyber forensic saja," kata Arief di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2013).
Perlatan tersebut disimpan di Cyber Crime Center Investigation Center (CCIC) yang berada di Gedung Bareskrim Jakarta, Polda Nusa Tenggara Barat, Polda Bali, Polda Sumatera Utara, dan Polda Metro Jaya. Bukan hanya dalam bentuk CCIC, ada juga dalam bentuk Cyber Crime Investigation Satellite Office (CCISO).
"(Peralatan itu) Ya, ini dari pemerintah Australia," ucapnya.
Peralatan Cyber Crime tersebut diresmikan pertama kali pada tahun 2011 di Gedung Bareskrim.
Fungsi dari peralatan tersebut untuk memeriksa barang bukti digital supaya bisa informasi digital bisa diwujudkan dalam bentuk materi dalam rangkan mendukung penyidikan. Termasuk dalam menggali informasi kejahatan cyber yang dilakukan kelompok teroris.
Arief memastikan bahwa peralatan cyber crime yang berasal dari Australia bukan untuk peralatan sadap, selain itu peralatan tersebut tidak terkoneksi dengan internet atau satelit.
"Insya Allah tidak ada. Karena ini kan bukan kaitannya dengan handphone dan lain-lain. Ini peralatan-perlatan laboratorium dan forensic, kaitannya dengan device, kemudian untuk memunculkan SMS, file yang sudah terapus, mengambil gambar dari Blackberry dan sebagainya," katanya.
Kecuali untuk unit Cyber Patrol atau patroli kejahatan di dunia maya, kepolisian menggunakan internet dengan ISP-nya berasal dari Indonesia.
Untuk perangkat cyber patrol pun Mabes Polri mendapatkan hibah dari Australia. "Tapi hanya kompi-kompi saja, Inet-nya, ISP dari Indonesia, tidak tergabung satelit," ujarnya.
Untuk diketahui, isu penyadapan telepon genggam Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu negara Ani Yudhoyono serta sejumlah pejabat negara lainnya menuai protes warga Indonesia. Aksi protes dilakukan dengan berbagai cara mulai, seperti aksi demo.
Informasi soal penyadapan terhadap Indonesia oleh intelijen Australia ini muncuat setelah media AFP melansir dokumen rahasia yang dibocorkan oleh pembocor Amerika Serikat, Edward Snowden.
Dokumen tersebut menyebutkan bahwa Presiden SBY dan sembilan orang yang masuk dalam lingkaran dalamnya menjadi target penyadapan Australia.
Lebih lanjut, dokumen itu dengan jelas menyebutkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, atau yang juga disebut Direktorat Sandi Pertahanan telah menyadap aktivitas telepon genggam presiden SBY selama 15 hari pada Agustus 2009 lalu. Saat itu, Australia masih dipimpin oleh Perdana Menteri Kevin Rudd.
Daftar target penyadapan Australia itu menyebut nama-nama pejabat tinggi ternama Indonesia. Mulai dari Wakil Presiden Boediono, kemudian mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Menko Polhukam dan juga Mensesneg.