TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Syamsuddin Haris mengatakan, secara umum hampir semua partai politik peserta Pemilu 2014, tidak fokus. Bahkan, sebagian besar parpol optimis dapat meraih suara signifikan dalan pemilu legislatif (Pileg), sekaligus juga optimis dapat meloloskan kandidat capres masing-masing.
"Tapi ini hampir tidak satu pun parpol yang secara tegas, lugas dan terang-terangan untuk fokus pada salah satu pemilu saja, entah pileg atau pilpres," kata Syamsuddin saat berbicara dalam diskusi bertema "Evaluasi Ekonomi Politik dan Hukum 2013, dan Prospek Tahun Politik 2014" di kantor Akbar Tandjung Institute di Jakarta, Kamis (19/12/2013).
Pengamat politik dari LIPI Syamsuddin mengatakan, bahwa realitas ini mencerminkan begitu dalamnya krisis etik yang tengah melanda para petinggi parpol.
Padahal, jika parpol fokus pada salah satu pemilu saja, maka segenap energi dan sumber daya partai bisa lebih efektif dengan hasil akhir yang maksimal.
Sampai-sampai, lanjut Syamsuddin, para tokoh yang elektabilitasnya rendah pun masih percaya diri alias PeDe, kalau mereka akan menjadi capres pilihan rakyat.
Seperti dikonfirmasi sejumlah hasil survei publik, PDI Perjuangan memiliki peluang paling besar dalam memenangkan Pileg, kemudian diikuti oleh Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem. PKB bisa menjadi 'Kuda Hitam' di posisi 3 atau 4 dengan 'menjual' dan memanfaatkan popularitas Raja Dangdut Rhoma Irama.
"Kalau saja Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie atau Ical tidak 'ngotot' menjadi caprea, dan kasus Gubernur Banten Ratu Atut tidak 'meledak' menjelang 2014, Golkar berpeluang menyaingi PDIP," kata Syamsuddin.
Sementara itu pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan bahwa sepanjang 2013, Indonesia tidak mempunyai kepemimpinan politik dan kepemimpinan hukum yang jelas, sehingga berbagai persoalan politik dan hukum terjadi dan membuat kita semakin tertinggal.
"Bagaimana mungkin sistem politik dan hukum kita dibangun atas dasar cara berpikir yang salah, sehingga dalam pratiknya terus menerud menimbulkan persoalan," katanya.
Dia juga mencontohkan keluarnya Perppu Nomor 1 tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, Perppu biasanya dikeluarkan atas dasar kegentingan memaksa, tetapi mengapa tidak ada kegentingan memaksa Presiden SBY tetap mengeluarkan Perppu.
Pada saat berasamaan Perppu keluar, MK memutuskan 8 perkara sengketa pilkada yang membuktikan tidak adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kaitan politik, dan konstitusi, Margareto mengatakan bahwa praktik politik kita jauh menyimpang dari konstitusi yang sudah ditetapkan, contohnya konstitusi menyebutkan pemilu diadakan lima tahun sekali. Tapi praktiknya pemilu diadakan dua kali, yakni legislatif dan presiden.
"Dalam konstitusi tidak ada persyaratan presidensial tresh hold. Tapi parpol besar membuat aturan sendiri dengan persyaratan presiden," katanya.
Pada kesempatan yang sama Direktur CORE Indonesia, Hendri Saparini banyak menyoroti permasalahan politik ekonomi. Menurut dia, akibat ketidak jujuran dalam melihat masalah, maka langkah kebijakan ekonomi selama 2013 tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Bahkan, tambahnya lagi, arah kebijakan arah kebijakan ekonomi semakin tidak jelas, utamanya dalam menjaga kepentingan nasional," kata Hendri Saparini.